Rakyat Banggai Dalam “Nyanyian” Investasi | ||||||||||
Oleh : Budi Siluet,
Angota Partai Rakyat Pekerja dan Staf lapangan YTM Palu
Yang
Kolonial Dia selalu iblis, kalau kau mengetahui sudah akan keiblisan
Kolonial kau dibenarkan berbuat apa saja terhadapnya “kecuali Bersekutu” (Pramudya Ananta Toer)
Tanah
adalah tempat kita hidup dan tempat kita mati, apa yang kita makan,
yang kita pakai semuanya bersumber dari tanah, dan setelah mati kita pun
dikuburkan di tanah, demikian ungkap seorang petani. Pendeknya, tanah
adalah sumber hidup dan akhir dari segalanya buat yang hidup.Tapi
kebutuhan akan tanah bukan hanya untuk petani, tanah telah menjadi
kebutuhan setiap orang yang hidup. Tanah telah bergeser menjadi
komoditas yang sangat bernilai harganya. Akhirnya, penguasaan atas tanah
berarti penguasaan atas kekayaan sosial yang akhirnya adalah
penguasaan atas hidup mayoritas orang.
Demikianlah, atas dasar argumentasi bersahaja tersebut tulisan ini di bangun;
Kabupaten
Banggai saat ini dikunjungi oleh investasi kapital swasta dalam
pengusahaan sumber-sumber agraria yang artinya adalah penguasaan atas
tanah, air dan segala yang terkandung di dalamnya, oleh perusahaan
(kapitalis) dengan skala besar. Tapi bukan hanya itu, kedatangan kapital
selalu dengan restu dan lindungan regulasi serta tentu saja disambut
mesra oleh pemerintah dari tingkat pusat sampai desa, kapital adalah
tamu agung, maka proses penguasaan atas sumber-sumber agraria oleh pihak
swasta berlangsung dengan massif penuh keagungan.
Berbagai
argumen tentu saja menghiasi keberadaan fenomena ini dan semuanya
berkisah tentang kesejahteraan berupa pembukaan lapangan kerja,
perputaran ekonomi yang akan membaik, karena banyaknya uang yang akan
beredar dan daerah kita tentu saja akan maju serta ramai dengan
banyaknya pendatang dan barang-barang modern yang jarang nampak
sebelumnya di mata kita. Yang tentu saja sebagian besar dari kita
bersepakat dengan kisah ini mulai dari rakyat jelata, petingi ormas,
tokoh politik, bahkan partai politik pun riuh rendah dengan datangnya
kemajuan ini, dan yang tak bersepakat tentu saja adalah seorang yang
‘aneh’ dan oleh Negara (Pemerintah) dianggap orang tradisional yang awam
akan kemajuan, dengan intimidasi menjadi kata kunci pemerintah dan
paksaan pihak swasta terhadap mereka yang awam itu, untuk percaya akan
adanya kemajuan dan mereka wajib merelakan hutan, tanah dan tenaga
kerjanya dikuasai oleh pihak swasta, semuanya demi satu kata,
“kemajuan”.
Ada
slogan yang indah nan puitis namun juga liris, ilusif, “membangun dari
desa,” yang dinyanyikan dengan merdu oleh Bupati saat ini sejak awal
pencalonannya, sejatinya tidak jauh berbeda dengan nyanyian pemerintahan
sebelumnya, “bersama kita bisa,” dan “kemajuan” yang kita tunggu masih
merupakan sesuatu yang jauh berjarak dari kita, tapi toh “bersama kita
bisa” menyanyikan lagu ”membangun dari desa” sembari menunggu, dan
kita bersabar.
Tapi apa hubungan nyanyian liris, ilusif, dengan investasi? Mungkin bersama kita juga bisa melihatnya;
Nyaris
hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Banggai dimasuki investor baik
lokal, nasional maupun investor asing. Umumnya para investor ini
menanamkan modalnya di sektor perkebunan (sawit) dan pertambangan (Migas
serta biji nikel), dan tempat tujuannya adalah desa-desa kita, yang
dulu hijau permai kata orang tua-tua, tentu saja jika nyanyian itu kita
nyanyikan bait liriknya yang hanya berbaris satu “bersama kita bisa,
membangun dari desa”.
Namun,
seperti kebanyakan nyanyian, nyanyian inipun memang hanya tanda yang
membangunkan imaji kita dan citranya berkilau seperti laut di pantai di
kilometer lima saat senja dan bersamanya kita bisa bersabar dalam
keteduhan. Meskipun kemajuan yang diharapkan seperti pembukaan lapangan
pekerjaan, peningkatan ekonomi masyarakat yang merupakan hasil dari
keberadaan investasi masih jauh dari pandangan dan mungkin memang takkan
pernah datang.
Dan kembali bersama kita melihatnya;
Berdasarkan
Daftar Perusahaan Objek Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Banggai Tahun Anggaran 2012, perusahaan swasta yang
menginvestasikan modalnya di Kabupaten Banggai ternyata begitu minim
dalam perekrutan tenaga kerja, seperti Join Operating Body Pertamina
Medco yang bergerak dalam pengeboran Migas hanya mendaftarkan pekerjanya
sebanyak 49 orang, PT Donggi Senoro LNG 15 orang,
perusahaan-perusahaan subkontraktor yang membangu infrastruktur PT
Donggi Senoro LNG seluruhnya menampung 1522 tenaga kerja, PT. Pantas
Indomining 126 orang, PT. Anugra Sakti Utama 59 orang, PT Komala Mining
217 orang, PT Anugerah Tompira Nikel 28 orang, Kurnia Luwuk Sejati
(KLS) yang bergerak di pengusahaan perkebunan sawit dalam Unit Pabrik
hanya memperkerjakan 171 orang, dan Unit Perkebunan 1618 orang,
demikian halnya PT Sawindo Cemerlang yang bergerak dalam perkebunan
kelapa sawit hanya memperkerjakan 126 orang, PT Wira Mas Permai yang
hanya memperkerjakan 200 orang (DISNAKETRANS Kab Banggai 2012), inipun
kebanyakan dengan upah yang masih dibawah ketentuan Upah Minimum
Propinsi (UMP).
Jika
dibandingkan dengan penduduk usia kerja di Kabupaten Banggai yang
berjumlah 220.936 dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja/TPAK 69,5%
di tahun 2008 yang sebagian besarnya adalah perempuan dan rata-ratanya
adalah tamatan SMU (BPS 2009) serta dengan penguasaan tanah yang begitu
luas yang mencapai belasan ribu bahkan puluhan ribu hektar, keberadaan
perusahan ini sejatinya tidak memberikan hasil apapun buat rakyat
pekerja (buruh, tani, nelayan dan kaum miskin yang menganggur, yang
menyandarkan hidupnya pada pekerjaan yang tanpa harapan hari esok dan
cukup, menyaksikan dirinya menjadi tua dan mati dalam kemiskinan).
Namun
nyanyian terus dinyanyikan dengan merdu sekaligus liris, “Membangun
Dari Desa,” meski jalanan rusak berlubang, kadang listrik juga padam dan
sumber pangan terancam, namun demi “kemajuan,” izin harus dikeluarkan
kepada investor dan menggadaikan tanah beserta isinya kepada pihak
swasta adalah musik iringan latar nyanyian merdu nan liris, seperti
rencana izin lokasi terbaru yang dikeluarkan Bupati kepada PT. Kurnia
Luwuk Sejati (PT. KLS) seluas 40.000 hektar untuk perkebunan kelapa
sawit (Luwuk Pos 10 oktober 2011), ini artinya luas ruang kapital tidak
berbanding sejajar dengan harapan kesejahteraan rakyat.
Mungkin ada yang salah;
Dari
hasil wawancara kami, problem utama rakyat Banggai yang mayoritas
petani adalah ketiadaan modal dan pasar dalam pengembangan usaha
pertanian mereka. Ini terbukti dengan minimnya bantuan pemerintah pada
sektor pertanian rakyat yang mana pada tahun anggaran 2010 saja alokasi
dana untuk pengembangan produksi pertanian turun 60% dari tahun
sebelumnya (Luwuk Pos 16-pebruari-2010). Demikian pula tahun 2012 ini
dimana APBD Kab. Banggai Rp 742.107.417.039 sebagian besarnya tersedot
untuk biaya tidak langsung yakni sebesar Rp 505.000.000.000 dan hanya Rp
247.000.000.000 untuk biaya langsung (Media Banggai 28 desember 2011).
Artinya, kesejateraan rakyat memang bukan menjadi tujuan utama program
pemerintah.
Dengan
ketiadaan modal inilah yang menjadi basis bagi rakyat Banggai untuk
mencari alternatif pekerjaan lain guna menopang pendapatan hidupnya.
Artinya, kebutuhan akan uang kontan untuk belanja sehari hari. Situasi
ini kemudian bersambut dengan keberadaan investasi industri ekstraktif
sehingga sebagaian besar masyarakat mengharapkan berkah pekerjaan dari
keberadaan perusahaan dengan kata lain menjadi buruh. Ini terlihat nyata
dalam beberapa aksi demo yang dilakukan masyarakat kecamatan Batui,
yakni pada tanggal 13 februari, di pioneer camp PT. JGC, aksi
pemblokiran jalan tanggal 12 Juni di Desa Lamo, aksi tanggal 20 Juni di
Jalan Raya Batui untuk medesak pemerintah kecamatan dan perusahan
subkontraktor pembangunan infrastruktur PT DSLNG agar segera menerima
mereka sebagai buruh dalam perusahan subkontraktor. Dan parahnya, elit
lokal giat membentuk usaha untuk menyalurkan dan menjual tenaga kerja
murah yang melimpah yang sejatinya adalah saudaranya sendiri, tapi apa
boleh buat, uang adalah segalanya. Mungkin benar kata Soekarno, sang
proklamator itu, “kita telah menjadi bangsa kuli dan kuli di antara
bangsa-bangsa”.
Terhitung
sejak 1998 hingga saat ini, Rakyat Pekerja mulai berani melakukan
aksi-aksi protes dan pendudukan lahan yang dikuasai oleh perusahaan.
Kita ingat kasus Bhotokong, Bualemo, dan kasus Toili yang berakhir
dengan penangkapan dan pemenjaraan petani seperti zaman kolonial dan
mungkin memang harus demikian karena kita mewarisi hukum kolonial.
Artinya, memang semua ini mungkin ada yang salah!?
Dan
meskipun jalanan hancur, debu bertebaran akibat lalu-lalangnya
kendaraan perusahaan, dan sumber air terancam keberadaannya, namun
rakyat Banggai seakan abai dengan situasi itu. Mereka terlalu sibuk
mencari nafkah dan kelelahan memikirkan ongkos makan serta pendidikan
dan biaya kesehatan yang begitu jauh dari kata baik apalagi gratis.
Semuanya mungkin bermimpi menunggu datangnya satu kata, “kemajuan,”
sebuah kata yang nun jauh di sana tersembunyi dalam bait nyanyian puitis
nan liris, ”bersama kita bisa”-“membangun dari desa”.
Sumber : http://www.prp-indonesia.org
|
Sabtu, 08 Agustus 2015
Rakyat Banggai Dalam “Nyanyian” Investasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar