Minggu, 23 Agustus 2015

Budi Siluet
Pendahuluan
Tulisan sederhana ini hanyalah ungkapan kegelisahan penulis soal gerakan petani[1] (petani miskin dan buruh-tani) di Indonesia yang sepengetahuan penulis, sangat panjang dan menorehkan kisah yang begitu inspiratif, namun juga tragis. Inspiratif karena banyak pelajaran yang dapat kita peroleh, dan tragis karena sampai saat ini perjuangan petani masih belum memperoleh kemenangannya yang sejati. Kemenangan sejati yang dimaksud dalam catatan ini adalah petani miskin dan buruh-tani (sebagai kolektif) dapat menguasai dan memiliki tanah, mengelola dan mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik, baik lokal maupun nasional, demi kepentingannya.
Sejarah perlawanan petani terhadap ketertindasannya adalah suatu cerita panjang sejak penguasaan manusia atas manusia dimulai. Di setiap zaman, dalam formasi sosial tertentu, petani selalu mengambil peran yang menentukan dalam perubahan sejarah peradaban manusia hingga kini.
Tidak perlulah disini saya bercerita soal sejarah perjuangan petani di Indonesia. Banyak penulis yang hebat dan pakar telah mengulas soal itu secara komprehensif, mulai dari zaman raja-raja di nusantara; zaman kolonial; masa Presiden Soekarno, termasuk saat terbitnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA); masa Orde Baru dan sampai era reformasi saat ini. Pada prinsipnya, menurut saya, petani belum menemukan arti kemerdekaan sebagaimana cita-cita Negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, seperti termuat dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar (UUD) Negara ini.
Kita semua, khususnya pemerhati persoalan agraria, aktivis maupun petani, pasti telah mengerti bahwa persoalan petani tidak bisa dilepaskan dari penguasaan, penggunaan dan kepemilikan atas tanah dan sumber-sumber agraria yang lain. Singkatnya, tanpa kuasa atas tanah, petani akan berada dalam posisi dibawahkan dalam pergaulan hidup manusia.
Persoalan kuasa atas tanah inilah yang menurut saya, menjadi problem dalam sejarah gerakan petani di Indonesia.
Tanah Untuk Petani
Tanah untuk petani adalah konsep pembaruan agraria yang termuat dan tersusun secara normatif dalam UUPA 1960, sebagai jawaban atas problem agraria yang diwariskan pemerintahan kolonial.
Menurut Gunawan Wiradi (2000), konsep pembaruan agraria kita mengacu pada konsep new populism. Atas dasar ini, maka luas kepemilikan/penguasaan tanah dibatasi dengan batas luas maksimum dan minimum.[2] Namun, dalam perjalananya, setelah Orde Baru berkuasa, semangat pembaruan agraria sebagaimana yang diamanatkan dalam UUPA menjadi sesuatu yang tak berarti, karena seperti yang kita ketahui bersama, rezim Orde Baru lebih memfokuskan pada persoalan pembangunan nasional yang berlandaskan penjualan sumber daya alam kepada swasta, baik nasional maupun asing. Melalui produk aturan perundang-undangan sebagai legitimasi yuridis atas kebijakannya yang kapitalistik, maka Orde Baru sukses meninggalkan problem agraria yang akut di negeri ini. Singkatnya penguasaan tanah berskala besar oleh swasta berlangsung massif sampai hari ini.
Atas dasar inilah, keberadaan UUPA 1960 masih diperlukan sebagai dasar hukum untuk pembaruan agraria. Menurut saya konsep “Tanah Untuk Petani” masih diperlukan dalam menghalau laju penguasaan tanah oleh kapitalis-kapitalis besar yang dilegitimasi Negara.
Saat ini, konsep pembangunan dalam skema Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dikeluarkan pemerintahan SBY jelas merupakan agenda ke arah liberalisasi sektor agraria. Penguasaan dan kepemilikan kembali petani atas tanah (baik dengan cara pengambilalihan maupun redistribusi) secara privat dengan pembatasan luas maksimum dan minimum sebagai solusi yang ditawarkan oleh UUPA 1960 untuk petani yang hidup di tengah sistem kapitalisme yang mengglobal hari ini, masih merupakan langkah transisional yang efektif dan strategis. Namun, persoalannya tidak bisa berhenti sampai di situ, karena persoalan petani adalah persoalan yang begitu kompleks dan harus dikelola secara berkesinambungan.
Sebagai contoh, Erpan Fariyadi (2012) dalam mengomentari hasil penelitian Triagung Sujiwo tentang perubahan penguasaan tanah di Cieceng, Tasikmalaya, Jawa Barat, pasca-reklaiming, mengatakan bahwa setelah menguasai tanah, petani hanya menjadi penanam tanaman perkebunan albasia dan jabon untuk kebutuhan pabrik kayu, dan tanaman kapol untuk industri minyak atsiri.[3] Artinya, logika yang terbangun dalam kesadaran petani adalah berproduksi sebagai penyedia bahan baku atau bahan mentah, dengan sistem distribusi yang hirarkis dan susunan pengepul yang berlapis. Sistem seperti ini memang umumnya terjadi dalam masayarakat bertani/pedesaan di Indonesia. Jelas ini tidak berbeda dengan logika Negara sejak Orde Baru hingga saat ini, yakni sebagai penyedia atau pelayan kebutuhan dasar Negara-negara industri maju atau dapat saya istilahkan sebagai Imperalisme
Persoalan ini dapat berkonsekuensi politis dimana kepemimpinan organisasi petani jatuh pada kelompok yang lebih tinggi statusnya dalam hirarki masyarakat bertani/pedesaan saat ini. Dalam kasus Cieceng, mereka adalah tokoh-tokoh informal yang memiliki otoritas sosial, kemudian berfungsi sebagai patron dan seakan melindungi secara politik dan ekonomi.[4] Artinya, perjuangan pengambilalihan lahan seperti jalan di tempat, kalau mengutip istilah Eric R. Wolf (1984) bahwa sifat pemberontak petani adalah untuk tetap menjadi “tradisional”[5] dan dasar dari sikap perlawanan petani hanyalah karena efek ekonomi yang sangat negatif dirasakan tanpa ada imajinasi dan perencanaan untuk melampaui kondisi tersebut. Jelas situasi seperti ini adalah suatu kekeliruan dalam membangun gerakan petani.
Inilah yang menjadi salah satu problem saat ini dan ke depan buat kita semua, baik intelektual pro-reforma agraria, aktifis reforma agraria maupun petani itu sendiri di tengah persoalan agraria yang begitu kompleks dan krusial.
Penutup
Persoalan gerakan petani ke depan pastinya tidak akan lepas dari realitas dimana kapitalisme semakin mendominasi negeri ini. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah bentuk tertinggi dari dominasi kapitalisme di Indonesia saat ini, dimana pemerintah membuka ruang-ruang baru guna ekploitasi sumber-sumber agraria oleh kekuasaan modal dengan cara membagi wilayah ke dalam koridor-koridor yang mereka inginkan. Kapitalisme saat ini telah menunjukan kemajuan dalam mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan agraria yang merupakan sumber kekayaan sosial. Dalam suatu wawancara, Arianto Sangaji (2013) menjelaskan kemajuan sistem ini dalam menciptakan teknologi guna pengambilalihan nilai lebih yang lebih besar. Lebih jauh dalam wawancara tersebut Arianto sangaji menjelaskan;
“Secara teknis, penggunaan teknologi terbaru menghasilkan produktivitas yang tinggi, karena jumlah material yang lebih besar atau banyak, misalnya, dapat dikeruk dari perut bumi. Dalam industri pertambangan, misalnya, firma-firma kapitalis berlomba memajukan tenaga-tenaga produktif (teknologi, ilmu pengetahuan dan keahlian) sebagai suatu keniscayaan, agar supaya minyak, gas, batubara, biji nikel dan sebagainya bisa dikeruk secara lebih cepat dan lebih banyak dari perut bumi. Turunannya, material-material itu dapat diproses untuk menghasilkan bahan-bahan baku dalam jumlah lebih besar pula. Tetapi, penggunaan mesin dalam konteks produksi yang kapitalistik bukan saja meningkatkan produktivitas kerja, tetapi dalam waktu yang sama juga mengubah dinamika hubungan kelas. Semenjak penggunaan teknologi menghemat tenaga kerja (labour-saving technology), maka implikasinya kapitalisme menciptakan tenaga kerja cadangan (reserve army of labour) yang melimpah ruah, sehingga memungkinkan kelas kapitalis dapat mengontrol kelas pekerja secara efektif.  Dengan demikian, dalam produksi kapitalistik, inovasi teknologi karenanya tidak bersifat eksternal melainkan internal ke dalam sistem ini.”[6]
Dalam kutipan di atas jelas kemajuan teknologi adalah keharusan bagi sistem kapitalisme yang ekspansif, bahwa selain memerlukan ruang penyingkiran petani ataupun membuka wilayah-wilayah baru yang luas, kapitalisme juga akan menciptakan barisan pengangguran yang masif. Maka dari itu, tidak ada jalan buat petani selain tetap dan terus berjuang mempertahankan tanah, merebut tanah, dan mengelola secara terencana di bawah kepemimpinan petani sendiri.
Di atas semua itu, tidak ada jalan lain selain mempersiapkan suatu konsep gerakan yang bukan hanya sekedar pengambilalihan lahan. Namun, diperlukan perencanaan yang jelas sebagai alternatif dalam pengelolaan tanah yang lebih mencerminkan kolektivitas, baik dalam produksi maupun distribusi, sehingga petani dapat benar-benar berdaulat secara ekonomi maupun politik.
Ini adalah tugas besar yang tidak mudah bagi petani dan pejuang-pejuang reforma agraria, untuk dapat merebut kedaulatan atas tanah, pangan, energi dan lingkungan yang lebih baik buat semua. Karenanya, perjuangan petani tidak dapat eksklusif dan diisolasi dari perjuangan rakyat pekerja secara luas. Perjuangan panjang ini mesti dan wajib disatukan dengan perjuangan buruh, kaum miskin kota, mahasiswa, intelektual dan gerakan-gerakan identitas lainnya. Karena jelas problem yang kita hadapi saat ini adalah kapitalisme yang semakin maju dalam mengekstraksi kekayaan alam dan eksploitasi kekayan sosial secara masif.***
Catatan:
[1] Catatan ini sekedar sumbangan sederhana untuk menyambut Hari Tani Nasional. Adapun petani yang saya maksud adalah petani miskin, buruh-tani dan kaum miskin tak bertanah.
[2] Lebih jelasnya lihat Gunawan Wiradi (2000), Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir (Insist Press: Yogya).
[3] Lebih jelasnya lihat Erpan Pariad, “Kaum Tani Miskin Harus Memimpin Gerakan Tani Agar Gerakan Pendudukan Tanah Dapat Mencapai Tujuannya dalam Dari Lokal Ke Nasional Kembali Ke Lokal: Perjuangan Hak Atas Tanah Di Indonesia (Arc Books: Bandung. 2012).
[4] Lebih jelasnya lihat Tri agung Sujiwo “Perubahan Penguasaan Tanah Di atas Lahan Pendudukan Pasca Reformasi (Studi kasus Tanah Cieceng Desa Sindangasih Tasikmalaya)” dalam Dari Lokal Ke Nasional Kembali Ke Lokal, op. cit.
[5] Lebih Jelasnya, lihat Henry A. Landsberger dan Yu. G. Alexandrov, Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial (YIIS Jakarta, 1984).
[6] Lebih jelasnya, lihat “Arianto Sangaji: Pilihannya Sederhana, Sosialisme atau Barbarisme,” Left Book Review Indoprogress, Edisi XIV/2013,http://indoprogress.com/lbr/?p=1478.

Sumber: http://www.prp-indonesia.org/2013/gerakan-petani-sebuah-catatan

Minggu, 09 Agustus 2015

Cegah Konflik Saat dan Setelah Pilkada, Sambut Pilkada Damai dan Cerdas STOP Rasialisme!!



Cegah Konflik Saat dan Setelah Pilkada, Sambut Pilkada Damai dan Cerdas
STOP Rasialisme!!
Image
 “Sudah Saatnya Putra Daerah Ambil Kendali Sebagai Bupati”, “Putra Daerah harus memimpin, Pendatang harus dipimpin”, begitulah bunyi desas desus, gosip dan pembicaraan yang sangat berbau rasial dan sangat anti terhadap kebinekaan Desas-desus seperti ini makin kencang diberbincangkan menjelang pilkada 2015 ini. Dalam Moment Pilkada Pada Umumnya Putra Daerah sebagai isu utama yang mendorong Terjadinya Konflik Horisontal Saat Berlangsung dan Pasca Pilkada.
Kenapa? Karena Mayoritas calon pemilih masih berkutat pada hal-hal yang tidak rasional, seperti suku asal calon kepala daerah dan kedekatan keluarga. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa definisi dari putra daerah itu? Apakah ada hubungannya antara putra daerah dan bukan putra daerah dengan kesejahteraan masyarakat? Kita harus jernih hati untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Menurut teori Samuel P. Huntington ada tiga kategori tentang putra daerah. Pertama, putra daerah genealogis atau biologis, yaitu seseorang yang dilahirkan di daerah tersebut. Kategori ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu seseorang yang dilahirkan di daerah tersebut berasal dari orang tua, baik salah satu maupun keduanya berasal dari daerah itu, dan juga seseorang yang dilahirkan di daerah tersebut tetapi orang tuanya bukan berasal dari daerah yang bersangkutan.
Kedua, putra daerah pragmatis, yaitu seseorang yang lahir di daerah tertentu dan berhubungan dengan daerahnya hanya untuk mengambil keuntungan bagi dirinya secara pragmatis. Ia memiliki hubungan politik dan/atau ekonomi dengan daerah kelahirannya. Misalnya, menjadi anggota legislatif mewakili daerah asal, yang sebelumnya tidak memiliki kiprah politik di daerahnya. Atau, seseorang yang menanamkan uangnya dalam bentuk investasi di daerah asal karena melihat potensi bisnis yang layak dikembangkan, dan lain sebagainya.
Ketiga, putra daerah sosiologis, yaitu seseorang yang, dalam kurun waktu lama, hidup, tumbuh, berkembang dan berinteraksi dengan masyarakat dimana ia tinggal. Ia telah menginternalisasi identitas dan karakter masyarakat, membangun ikatan emosional dengan masyarakat, serta menjadi bagian dari masyarakat setempat dan secara bersama-sama membangun daerah demi kemajuan buat semua.
Berdasarkan beberapa kategori tersebut maka sudah tidak relevan lagi jika kita masih memunculkan isu putra daerah dan bukan putra daerah dalam Pilkada. Dikotomi putra daerah dan bukan putra daerah justru akan merusak bangunan demokrasi dan tatanan kehidupan kita sebagai sebuah bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika isu ini selalu dihembuskan, maka akan berdampak pada tiga hal, sebagai berikut;
Pertama, munculnya kembali semangat primordialisme, yaitu rasa kesukuan yang berlebihan. Memandang orang per-orang dari latar belakang kesukuannya, silsilah feodal atau kebangsawanannya sehingga dalam melihat persoalan selalu menggunakan perspektif dan nilai ajaran sukunya, kebangsawanan atau kefeodalanya dan/atau keluarganya sendiri secara sempit dan manipulatif. Bangkitnya primordialisme akan mengancam kerukunan dan integritas masyarakat secara luas. Akan muncul rasa tidak senang, cemburu, curiga, yang mengarah pada kebencian dan penolakan terhadap orang lain yang diidentifikasi bukan bagian dari kelompoknya.
Kedua, ancaman terhadap nasionalisme dan persatuan bangsa. Isu putra daerah merupakan bentuk perongrongan secara laten terhadap nilai-nilai dan semangat nasionalisme, serta proses integrasi bangsa. Hal ini juga mengandung makna adanya pengkhianatan terhadap Bhinneka Tunggal Ika, sebagai semboyan dan roh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika ini dibiarkan, maka bangsa ini akan mundur dan berkeping-keping persis ketika kolonialisme menjajah bumi pertiwi tercinta ini.
Ketiga, mencederai substansi demokrasi. Demokrasi memberikan hak yang sama bagi setiap orang untuk memilih dan dipilih dalam aktivitas politik, baik itu pemilihan bupati, walikota, gubernur, presiden maupun anggota legislatif. Menghembuskan isu putra daerah berarti menghalang-halangi, sekaligus menghilangkan kesempatan seseorang untuk turut berkompetisi secara fair dalam setiap aktivitas politik.
Apalagi isu putra daerah jelas adalah ungkapan yang sangat bias Gender, Karna akan ada pertanyaan kenapa bukan Putri daerah? Bias gender adalah pembagian posisi dan peran yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dengan sifat feminis dipandang selayaknya berperan di sektor domestik, sebaliknya laki-laki yang maskulin sudah sepatutnya berperan di sektor publik. Bias Gender adalah kebijakan/ program/ kegiatan atau kondisi yang memihak atau merugikan salah satu jenis kelamin dalam hal ini perempuan.
Memang, menjelang pilkada ini, suhu politik di Kabupaten Banggai meningkat sejalan dengan semakin banyaknya bakal calon bupati dan wakil bupati melakukan konsolidasi dan merebut simpati masyarakat dengan caranya masing-masing. Sisi positif yang semestinya dilihat dari dinamika tersebut adalah bahwa momentum pilkada langsung ini harus dijadikan wahana pembelajaran politik yang sehat bagi masyarakat.
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung harus dibaca sebagai suatu keinginan untuk mendapatkan Kepala Daerah yang handal, berintegritas, dipercaya masyarakat (merakyat) dan mampu membawa perbaikan kongkrit di masyarakat. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung harus pula dibaca sebagai upaya untuk mewujudkan karakter kepemimpinan yang menjadi idaman rakyat, serta memberi manfaat bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, pemilihan Kepala Daerah secara langsung juga menuntut suatu proses pemilihan yang fair, adil dan terbuka, yang jauh dari praktek Politik Uang/money politic, politik teror, intimidasi, ataupun cara-cara kotor yang melawan moral sosial, moral agama dan konstitusi, seperti black campaign, fitnah, adu domba, dan lain-lain.
Rakyat memiliki hak konstitusional untuk memilih pemimpinnya, siapapun itu dan dari manapun asalnya, asal memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena jelas istilah “putra daerah” tidak pernah menjadi syarat untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang republik indonesia  nomor 8 tahun 2015  tentang perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang. Sebab sejatinya rakyat memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan layanan berkualitas, yakni suatu layanan berupa gerak pembangunan yang sejalan dengan aspirasi (partisipatif),konstitusi dan tujuan nasional bangsa.
Atas dasar itulah, semestinya kita membangun cara berpikir dan sikap kita untuk menilai para bakal calon bupati dan wakil bupati. Sejauh mana kapabilitas dan akseptabilitasnya terhadap rakyat, bangsa dan negara ini. Bukan cara usang yang dapat mengakibatkan konflik dengan menyebar isu putra daerah yang sama sekali menyesatkan rakyat. ***




Sabtu, 08 Agustus 2015

Rakyat Banggai Dalam “Nyanyian” Investasi

Rakyat Banggai Dalam “Nyanyian” Investasi          

Oleh : Budi Siluet,  

Angota Partai Rakyat Pekerja dan Staf lapangan YTM Palu

Yang Kolonial Dia selalu iblis, kalau kau mengetahui sudah akan keiblisan Kolonial kau dibenarkan berbuat apa saja terhadapnya “kecuali Bersekutu” (Pramudya Ananta Toer)
Tanah adalah tempat kita hidup dan tempat kita mati, apa yang kita makan, yang kita pakai semuanya bersumber dari tanah, dan setelah mati kita pun dikuburkan di tanah, demikian ungkap seorang petani. Pendeknya, tanah adalah sumber hidup dan akhir dari segalanya buat yang hidup.Tapi kebutuhan akan tanah bukan hanya untuk petani, tanah telah menjadi kebutuhan setiap orang yang hidup. Tanah telah bergeser menjadi komoditas yang sangat bernilai harganya. Akhirnya, penguasaan atas tanah berarti penguasaan atas kekayaan sosial yang akhirnya adalah penguasaan atas hidup mayoritas orang.
Demikianlah, atas dasar argumentasi bersahaja tersebut tulisan ini di bangun;

Kabupaten Banggai saat ini dikunjungi oleh investasi kapital swasta dalam pengusahaan sumber-sumber agraria yang artinya adalah penguasaan atas tanah, air dan segala yang terkandung di dalamnya, oleh perusahaan (kapitalis) dengan skala besar. Tapi bukan hanya itu, kedatangan kapital selalu dengan restu dan lindungan regulasi serta tentu saja disambut mesra oleh pemerintah dari tingkat pusat sampai desa, kapital adalah tamu agung, maka proses penguasaan atas sumber-sumber agraria oleh pihak swasta berlangsung dengan  massif penuh keagungan.
Berbagai argumen tentu saja menghiasi keberadaan fenomena ini dan semuanya berkisah tentang kesejahteraan berupa pembukaan lapangan kerja, perputaran ekonomi yang akan membaik, karena banyaknya uang yang akan beredar dan daerah kita tentu saja akan maju serta ramai dengan banyaknya pendatang dan barang-barang modern yang jarang nampak sebelumnya di mata kita. Yang tentu saja sebagian besar dari kita bersepakat dengan kisah ini mulai dari rakyat jelata, petingi ormas, tokoh politik, bahkan partai politik pun riuh rendah dengan datangnya kemajuan ini, dan yang tak bersepakat tentu saja adalah seorang yang ‘aneh’ dan oleh Negara (Pemerintah) dianggap orang tradisional yang awam akan kemajuan, dengan intimidasi menjadi kata kunci pemerintah dan paksaan pihak swasta terhadap mereka yang awam itu, untuk percaya akan adanya kemajuan dan mereka wajib merelakan hutan, tanah dan tenaga kerjanya dikuasai oleh pihak swasta, semuanya demi satu kata, “kemajuan”.
Ada slogan yang indah nan puitis namun juga liris, ilusif, “membangun dari desa,” yang dinyanyikan dengan merdu oleh Bupati saat ini sejak awal pencalonannya, sejatinya tidak jauh berbeda dengan nyanyian pemerintahan sebelumnya, “bersama kita bisa,” dan “kemajuan” yang kita tunggu masih merupakan sesuatu yang jauh berjarak dari kita, tapi toh “bersama kita bisa” menyanyikan lagu ”membangun dari desa” sembari menunggu, dan kita bersabar.
Tapi apa hubungan nyanyian liris, ilusif, dengan investasi? Mungkin bersama kita juga bisa melihatnya;
Nyaris hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Banggai dimasuki investor baik lokal, nasional maupun investor asing. Umumnya para investor ini menanamkan modalnya di sektor perkebunan (sawit) dan pertambangan (Migas serta biji nikel), dan tempat tujuannya adalah desa-desa kita, yang dulu hijau permai kata orang tua-tua, tentu saja jika nyanyian itu kita nyanyikan bait liriknya yang hanya berbaris satu “bersama kita bisa, membangun dari desa”.
Namun, seperti kebanyakan nyanyian, nyanyian inipun memang hanya tanda yang membangunkan imaji kita dan citranya berkilau seperti laut di pantai di kilometer lima saat senja dan bersamanya kita bisa bersabar dalam keteduhan. Meskipun kemajuan yang diharapkan seperti pembukaan lapangan pekerjaan, peningkatan ekonomi masyarakat yang merupakan hasil dari keberadaan investasi masih jauh dari pandangan dan mungkin memang takkan pernah datang.

Dan kembali bersama kita melihatnya;

Berdasarkan Daftar Perusahaan Objek Pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banggai Tahun Anggaran 2012, perusahaan swasta yang menginvestasikan modalnya di Kabupaten Banggai ternyata begitu minim dalam perekrutan tenaga kerja, seperti Join Operating Body Pertamina Medco yang bergerak dalam pengeboran Migas hanya mendaftarkan pekerjanya sebanyak 49 orang, PT Donggi Senoro LNG 15 orang, perusahaan-perusahaan subkontraktor yang membangu infrastruktur PT Donggi Senoro LNG seluruhnya menampung 1522 tenaga kerja, PT. Pantas Indomining 126 orang, PT. Anugra Sakti Utama 59 orang, PT Komala Mining 217 orang, PT Anugerah Tompira Nikel 28 orang, Kurnia Luwuk Sejati (KLS) yang bergerak di pengusahaan perkebunan sawit dalam Unit Pabrik hanya memperkerjakan 171 orang, dan Unit Perkebunan 1618 orang, demikian halnya PT Sawindo Cemerlang yang bergerak dalam perkebunan kelapa sawit hanya memperkerjakan 126 orang, PT Wira Mas Permai yang hanya memperkerjakan 200 orang (DISNAKETRANS Kab Banggai 2012), inipun kebanyakan dengan upah yang masih dibawah ketentuan Upah Minimum Propinsi (UMP).
Jika dibandingkan dengan penduduk usia kerja di Kabupaten Banggai yang berjumlah  220.936 dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja/TPAK 69,5% di tahun 2008 yang sebagian besarnya adalah perempuan dan rata-ratanya adalah tamatan SMU (BPS 2009) serta dengan penguasaan tanah yang begitu luas yang mencapai belasan ribu bahkan puluhan ribu hektar, keberadaan perusahan ini sejatinya tidak memberikan hasil apapun buat rakyat pekerja (buruh, tani, nelayan dan kaum miskin yang menganggur, yang menyandarkan hidupnya pada pekerjaan yang tanpa harapan hari esok dan cukup, menyaksikan dirinya menjadi tua dan mati dalam kemiskinan).
Namun nyanyian terus dinyanyikan dengan merdu sekaligus liris, “Membangun Dari Desa,” meski jalanan rusak berlubang, kadang listrik juga padam dan sumber pangan terancam, namun demi “kemajuan,” izin harus dikeluarkan kepada investor dan menggadaikan tanah beserta isinya kepada pihak swasta adalah musik iringan latar nyanyian merdu nan liris, seperti rencana izin lokasi terbaru yang dikeluarkan Bupati kepada PT. Kurnia Luwuk Sejati (PT. KLS) seluas 40.000 hektar untuk perkebunan kelapa sawit (Luwuk Pos 10 oktober 2011), ini artinya luas ruang kapital tidak berbanding sejajar dengan harapan kesejahteraan rakyat.

Mungkin ada yang salah;

Dari hasil wawancara kami, problem utama rakyat Banggai yang mayoritas petani adalah ketiadaan modal dan pasar dalam pengembangan usaha pertanian mereka. Ini terbukti dengan minimnya bantuan pemerintah pada sektor pertanian rakyat yang mana  pada tahun anggaran 2010 saja alokasi dana untuk pengembangan produksi pertanian turun 60% dari tahun sebelumnya (Luwuk Pos 16-pebruari-2010). Demikian pula tahun 2012 ini dimana APBD Kab. Banggai Rp 742.107.417.039 sebagian besarnya tersedot untuk biaya tidak langsung yakni sebesar Rp 505.000.000.000 dan hanya Rp 247.000.000.000 untuk biaya langsung (Media Banggai 28 desember 2011). Artinya, kesejateraan rakyat memang bukan menjadi tujuan utama program pemerintah.
Dengan ketiadaan modal inilah yang menjadi basis bagi rakyat Banggai untuk mencari alternatif pekerjaan lain guna menopang pendapatan hidupnya. Artinya, kebutuhan akan uang kontan untuk belanja sehari hari. Situasi ini kemudian bersambut dengan keberadaan investasi industri ekstraktif sehingga sebagaian besar masyarakat mengharapkan berkah pekerjaan dari keberadaan perusahaan dengan kata lain menjadi buruh. Ini terlihat nyata dalam beberapa aksi demo yang dilakukan masyarakat kecamatan Batui, yakni pada tanggal 13 februari, di pioneer camp  PT. JGC, aksi pemblokiran jalan tanggal 12 Juni di Desa Lamo, aksi tanggal 20 Juni di Jalan Raya Batui untuk medesak pemerintah kecamatan dan perusahan subkontraktor pembangunan infrastruktur PT DSLNG agar segera menerima mereka sebagai buruh dalam perusahan subkontraktor. Dan parahnya, elit lokal giat membentuk usaha untuk menyalurkan dan menjual tenaga kerja murah yang melimpah yang sejatinya adalah saudaranya sendiri, tapi apa boleh buat, uang adalah segalanya. Mungkin benar kata Soekarno, sang proklamator itu, “kita telah menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa”.
Terhitung sejak 1998 hingga saat ini, Rakyat Pekerja mulai berani melakukan aksi-aksi protes dan pendudukan lahan yang dikuasai oleh perusahaan. Kita ingat kasus Bhotokong, Bualemo, dan kasus Toili yang berakhir dengan penangkapan dan pemenjaraan petani seperti zaman kolonial dan mungkin memang harus demikian karena kita mewarisi hukum kolonial.

Artinya, memang semua ini mungkin ada yang salah!?

Dan meskipun jalanan hancur, debu bertebaran akibat lalu-lalangnya kendaraan perusahaan, dan sumber air terancam keberadaannya, namun rakyat Banggai seakan abai dengan situasi itu. Mereka terlalu sibuk mencari nafkah dan kelelahan memikirkan ongkos makan serta pendidikan dan biaya kesehatan yang begitu jauh dari kata baik apalagi gratis. Semuanya mungkin bermimpi menunggu datangnya satu kata, “kemajuan,” sebuah kata yang nun jauh di sana tersembunyi dalam bait nyanyian puitis nan liris, ”bersama kita bisa”-“membangun dari desa”.

Sumber : http://www.prp-indonesia.org

Manipulasi Politik

Budi Siluet
Kader Partai Rakyat Pekerja (PRP)
Ini cerita soal tipu menipu, dalam setiap babak sejarah selalu saja ada penipu yang sukses dengan menipu, seakan-akan Tuhan memang “mengizinkan dan memberkati” dia untuk menjadi orang sukses dengan jalan menipu. Tentunya setiap babak sejarah melahirkan banyak penipu tetapi yang sukses melegenda dan tercatat dalam sejarah sangat jarang kecuali penipuan itu adalah penipuan politik.
Pada zaman Romawi setelah kaisar Nero melakukan bunuh diri di dekat vila freedman Phaon, pada bulan Juni 68 SM. Berbagai penipu yang mengaku sebagai Nero muncul antara musim gugur tahun 69 SM dan pada saat pemerintahan kaisar Domitianus. Para penipu ini banyak di sokong oleh tentara disertir dan coba mengambil alih kekuasaan. Di Norwegia kita mengenal nama False Margaret (1260-1301) adalah seorang wanita penipu dari Norwegia yang menyamar sebagai Margaret, putri dari Norwegia. Dia menipu rakyat Norwegia dan mendaku diri sebagai seorang putri. Penduduk kota dan banyak tokoh rohaniawan/agamawan terkecoh atau pura-pura terkecoh agar bisa untung dan getol mendukung pengakuannya, sayang sang raja dapat mengenali dan sang putri gadungan berakhir ditiang gantungan.
Di Inggris kita mendengar Lambert Simnel (1477-1525) adalah penipu yang menyamar sebagai bangsawan dari Inggris. Pada 1487 dia mengancam pemerintahan yang baru didirikan oleh Raja Henry VII (memerintah 1485-1509). Begitu banyak kisah penipuan politik namun tujuannya hanya satu yaitu memanipulasi rakyat, militer dan sekelompok rohaniawan/agamawan agar dapat berkuasa dan bisa menjadi kaya raya.
Namun dari kisah-kisah penipu di seluruh dunia yang paling sukses adalah Grigory Otrepyev (Dmitriy I) seperti dikisahkan dalam trilogy drama epik Aleksey Konstantinovich Tolstoy atau lebih akrap dengan nama Tolstoy yang di tulis 1868-1869 dan pertama kali diterbitkan pada maret tahun 1870. Dalam kisah itu dia (Grigory Otrepyev) adalah salah satu dari tiga penipu yang mendaku sebagai anak bungsu dari Tsarevitch Dmitriy Ivanovich yang mati terbunuh. Selama periode kerusuhan sipil di Rusia dia kemudian menjadi Tsar Rusia dari 21 Juli 1605 sampai kematiannya pada 17 Mei 1606, sangat singkat dia berkuasa tapi paling tidak dia berhasil. Sebagai penipu Otrepyev menampilkan keterampilan aristokrat yang memukau seperti berkuda dan keaksaraan serta mempunyai kemampuan berbicara kepada massa dengan baik dan lugas layaknya ksatria sejati. Dengan memanfaatkan situasi politik saat itu yang serba tak menentu karena kematian misterius Tsar Boris Goudonov, Otrepyev sang penipu mampu mampu memanipulasi para bangsawan dan rohaniawan/pemuka agama serta meraih dukungan militer hingga dapat mengambil tampuk kekuasaan.
Namun Apa Hubungannya Kisah Tipu Menipu Politik Dengan Indonesia Saat Ini?
Ada hubungannya, kata orang bijak sejarah adalah guru yang paling baik, dan untuk meraih kekuasaan banyak hal bisa dilakukan termasuk tipu-menipu dan tujuannya hanya satu, mendapatkan dukungan rakyat dan kelompok yang memegang otoritas tertentu (Militer dan rohaniawan/agamawan) agar kuasa berada ditangannya.
Gegap gempita Pemilihan Presiden 2014 yang tinggal menghitung hari menampilkan pagelaran manipulasi politik demi dukungan mayoritas rakyat dalam demokrasi elektoral. Namun yang paling telanjang adalah apa yang ditampilkan mantan Jenderal baret merah Prabowo. Tentu banyak yang bertanya, kenapa bisa?
Kita tahu bersama sang Jederal adalah putra Begawan ekonomi liberal Sumitro Djojohadikusumo seoarang pembangkang presiden Soekarno nomor wahid dia memproklamirkan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perdjuangan Rakjat Semesta (PRRI/PERMESTA) yang di dukung penuh oleh kelompok militer reaksioner sokongan Amerika Serikat (CIA) dan Inggris[1] untuk merebut pemerintahan yang sah Presiden Soekarno.
Karir militernya juga terdongkrat karena ayahnya menjabat Menteri Perdagangan dan Menteri Negara Riset Nasional pada masa orde baru, dia juga adalah mantan menantu Jenderal Soeharto yang “mengkudeta” pemerintahan Soekarno sang Proklamator itu. Kita tahu bersama bahwa pemerintahan Orde Baru adalah pemerintahan yang kebijakan politiknya sangat pro modal asing dan sangat bertolak belakang dengan politik Soekarno yang begitu anti Kolonialisme Imperialisme. Namun setelah beberapa puluh tahun berselang putra dan mantan menantu pembangkang Soekarno itu menampakan sosoknya layaknya Putra Sang Fajar.
Anak kecil juga tahu deklasrasi pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden bertempat di rumah polonia yang terletak di kawasan Jakarta Timur, alasannya jelas karena rumah ini tempat tinggal presiden pertama Indonesia Soekarno. Sekretaris Jendral Gerakan Muda (Gema) Indonesia salah satu barisan pendukung Pasangan Prabowo-Hata Rajasa, Arif Rahman mengatakan bekas rumah mantan presiden pertama Indonesia dipilih agar deklarasi Prabowo-Hatta bisa mencerminkan perjuangan Soekarno.
Tapi perlu diingat Soekarno putra sang fajar itu bukan Prabowo bahkan dengan menutup sebelah mata kita tidak satupun kemiripan yang memancar dari diri Prabowo dengan pimpinan besar revolusi Indonesia itu. Dalam pidato nya yang berapi-api Soekarno dengan lantang mengatakan bahwa revolusi Indonesia menuju Sosialisme dan itu terbukti dengan program Tri saktinya, dengan politik anti Imperialisme Kolonialisme, menolak bantuan Amerika meskipun sang Presiden harus makan tempe bersama rakyatnya dan yang pasti Soekarno melarang Angkatan Bersenjata Berpolitik, Angkatan Bersenjata harus menjadi pelindung rakyat bukan menembak dan menumpas rakyat, Soekarno sangat menjujung tinggi demokrasi itu terbukti dengan pemilu 1955 pemilu paling demokratis dalam sejarah bangsa ini, Soekarno tidak memiliki dua kewarganegaraan, sampai mati nya dia mengorbankan hidupnya demi negara ini memiliki kepribadian yang kuat. Dan satu lagi Soekarno tidak punya perusahaan apalagi hutang Rp 14,3 Triliun.
Untuk mengakhiri cerita ini mari kita sejenak kita mengingat!
Dalam setiap babakan sejarah memang selalu melahirkan penipu-penipu “beruntung” seperti ksatria penunggang kuda dengan keris di pingganganya, mampu mengenali aksara dunia dan bertutur lantang dan lugas menghpinotis massa dengan pengeras suara ribuan watt yang bertampik sorak dengan ketidaktahuannya, memiliki dukungan rohaniawan/agamawan yang korup dan haus akan harta yang bersembunyi dengan hafalan kalimat suci ajaran para nabi kekasih Tuhan, namun penipu tetaplah penipu, dengan segala pengetahuanya.

Semoga Tuhan Memberkati Indonesia***

Pedalaman Sulawesi 23 Mei 2014

Catatan:
[1] Lebih jelasnya Lihat tulisan saya di http://www.prp-indonesia.org/2014/prri-orde-baru-dan-prabowo-bangkitnya-kekuatan-anti-demokrasi.

Rujukan:
Hampir keseluruhan bahan untuk tulisan ini diambil dari Wikipedia, sayang kalau kemerdekaan memperoleh informasi ini terampas.

***Tulisan ini sebelumnya dimuat di http://www.prp-indonesia.org/2014/manipulasi-politik

“Liberalisasi Ekonomi dan Politik Serta Ancaman Kembalinya Otoritarianime Di Tenggah Fragmentasi Gerakan Rakyat”



“Liberalisasi Ekonomi dan Politik  Serta Ancaman Kembalinya Otoritarianime Di Tenggah Fragmentasi Gerakan Rakyat”
 
Pendahuluan 

Tahun 2014 adalah tahun politik karena pada tahun ini di selenggarakan pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden. Pemilu tahun ini di harapkan oleh banyak kalangan menjadi titik awal perubahan kearah yang lebih baik setelah enam belas tahun reformasi yang diwarnai dengan liberalisasi ekonomi segala bidang dan maraknya korupsi yang melibatkan elit pimpinan negara ini. Pondasi ekonomi yang rapuh dan kepemipinan politik yang pro modal asing dengan semata-mata mengandalkan utang luar negeri sebagai sumber pendapatan Negara makin menghempaskan rakyat Indonesia kedalam kondisi hidup yang semakin memprihatinkan. Bank Indonesia (BI) mencatat total utang luar negeri Indonesia per Januari 2014 mencapai USD269,27 miliar atau Rp3.042,751 triliun jika mengacu kurs Rupiah sebesar Rp11.300 per USD. Besaran utang tersebut naik sekira USD5,21 miliar atau 1,97 persen dari jumlah utang bulan sebelumnya yang tercatat berada pada USD264,06 miliar.
Dikutip dari situs BI, utang luar negeri Indonesia terbesar masih berasal dari sektor swasta yang mencapai USD141,35 miliar, yang terdiri dari utang pihak perbankan sebesar USD23,96 miliar dan nonbank mencapai USD117,39 miliar.  Indicator makroekonomi yang menurut pemerintah terus naik ternyata adalah manipulasi guna mepertahankan kekuasaan ditangan oligarki politik.1
Namun apa yang diharapkan oleh banyak kalangan pasca tahun politik ini kemungkinan besar tidak akan terlaksana.Sejak Orde Baru berkuasa sampai era Reformasi saat ini program pebaruan agraria sebagai basis pembangunan industri nasional tidak lagi menjadi acuan dasar untuk pembangunan bangsa ini. Tidak ada satupun partai – partai yang berkuasa saat ini memasukan pembaruan agraria dalam program politiknya padahal  liberalisasi ekonomi semakin  kuat mencengram  rakyat pekerja Indonesia . Progaram Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dikeluarkan rezim Susilo Bambang Yudiono (SBY) adalah bentuk terbaru dari liberalisasi ekonomi Indonesia yang didukung oleh produk regulasi sebagai alas hukum untuk pelaksanaanya seperti UU tentang kehutanan, UU tentang Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Modal Asing, Undang-undang pengadaan tanah bagi kepentingan umum dan lain sebagianya serta yang terbaru adalah Perpres 39/2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Maka semakin teranglah bahwa Negara ini adalah pelayan dalam pemulihan krisis kapitalisme dunia yang memuncak pada 2008-2010 dan populer dengan sebutan Global Economic Crisis (GEC),oleh karenanya dengan MP3EI maka pemerintah Indonesia akan menggadaikan sumber daya alam dan tenaga kerja rakyat pekerja indonesia untuk kepentingan kapitalisme global agar keluar dari krisis yakni dengan cara menginfestasikan modalnya ke seluruh wilayah Indonesia dengan segala kemudahanya. ______________________________
1Pemerintah bersikeras bahwa kondisi makroekonomi amat baik dan cenderung terus membaik. Sementara itu, kondisi mikroekonomi justeru tampak mengkhawatirkan. Dalam kehidupan ekonomi seharihari yang nyata, kebanyakan orang merasakan nuansa berbeda dari persepsi pemerintah. Lihat  http://vantheyologi.files.wordpress.com/2012/07/neo-liberalisme-mencengkram-indonesia.pdf

Artinya dalam pemerintahan kedepan dipastikan tidak ada perubahan yang berarti buat rakyat Indonesia secara umum.
Tahun politik saat ini juga di warnai dengan ancaman kembalinya masa otoritarian yang penuh represif seperti  saat orde baru. Ini dimungkinkan dengan majunya Prabowo Subianto sebagai kandidat presiden pada pemilihan umum presiden (Pilpres) 2014 ini. Dengan rekam jejak yang sarat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Prabowo menjadi ancaman yang nyata buat kelangsungan demokrasi meskipun dalam bentuknya yang liberal.
Tentunya apabila Prabowo memenangkan pilpres tahun ini maka tantangan buat rakyat pekerja Indonesia akan semakin banyak dan melelahkan apalagi pasangan wakil presidenya adalah Hata Rajasa yang sama kita ketahui adalah tokoh yang getol memaksakan pelaksanakan MP3EI.

Fragmentasi Gerakan Rakyat Pekerja (Buruh, Petani,Nelayan,Masyarakat Adat dan Perempuan)
Ditengah liberalisasi ekonomi, korupsi yang akut dan ancaman kembalinya masa otoritarian gerakan rakyat justru masi terbelah dengan isu perjuangannya sendiri-sendiri. Ini bisa kita lihat dalam aksi- aksi perjuangan normative dimana tiap-tiap sektor rakyat pekerja masi bertahan dengan isu-isu sektorlnya masing-masing dan belum memajukan isu-isu kearah tuntutan yang lebih maju demi kepentingan seluruh rakyat tanpa meninggalkan isu sektoralnya. Bukan hanya itu bahkan yang lebih memprihatinkan adalah dalam satu sektorpun belum ada penyatuan gerakan yang signifikan padahal isu dan tuntutanya jelas sama. Belum adanya kesadaran politik persatuan perjuangan rakyat pekerja inilah yang menjadi kendala dalam agenda perjuangan rakyat.
Fragmentasi ini juga di perparah dengan praktek politik transaksional yang telah menghancurkan moral rakyat betapa tidak dalam praktek politik transaksional ini politik dipandang sebagai cara mendapat kekuasaan dengan modal besar tanpa  perlunya gagasan dan program untuk perubahan yang lebih baik. Konsekuensinya adalah, menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan. Politik transaksional adalah politik “dagang sapi” yang mewujud dalam perjanjian politik antar beberapa pihak dalam usaha menerima serta memperalat kekuasaan. Politik transaksional cakupannya sangat luas, bisa menyentuh seluruh aktivitas politik. bukan hanya pileg, pilpres ,pilkada dan pilkades namun juga pada saat pengambilan kebijakan politik oleh penguasa. Politik transaksional ini banyak menyeret oragnisasi- organisasi rakyat dan aktifis rakyat masuk dalam pusarnanya sehingga dalam perjuangannya menjadi jalan di tempat bahkan terancam hancur sama sekali.

Kondisi Umum Kehidupan Rakyat Pekerja
Secara umum kehidupan rakyat pekerja Indonesia masi belum beranjak dari kerentananya. Memang menurut data BPS berdasarkan data yang dilansir pada 5 Mei 2014,jumlah penganggur pada Februari 2014 hanya mencapai 7,15 juta orang namun laporan resmi pemerintah patut dicurigai sebagai laporan semu. Keberhasilan pemerintah dalam menurunkan angka pengangguran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan karena tenaga kerja informal masih besar dan underemployment setiap tahun meningkat. Menurut laporan Prakasa Policy Review sampai Juli 2013  dari 149,8 juta total tenaga kerja di Indonesia, ternyata 103,2 juta adalah pekerja sektor informal dan setengah pengangguran sedangkan 7,2 juta berstatus pengangguran.2
Dalam hal perlindungan sosial rakyat pekerja Indonesia juga sangat diabaikan oleh Negara,betapa tidak sebagai contoh salah satu kewajiban Negara adalah melindungi hak warga Negara untuk mendapatkan hak atas pelayanan kesehatan.
Namun menurut laporan hasil Riset kesehatan dasar (Rikesdas) Kementrian Kesaehatan desember 2013 dalam pelayanan kesehatan secara nasional, sebanyak 50,5% penduduk Indonesia belum memiliki jaminan kesehatan. Askes/ ASABRI dimiliki oleh sekitar 6% penduduk, Jamsostek 4,4%, asuransi kesehatan swasta dan tunjangan kesehatan perusahaan masing-masing sebesar 1,7%.
Kepemilikan jaminan didominasi oleh Jamkesmas (28,9%) dan Jamkesda (9,6%).  Sebanyak 10,4 persen penduduk Indonesia dalam satu bulan terakhir melakukan rawat jalan dan biaya rata-rata yang dikeluarkan sebesar Rp.35.000 dimana 67,9 % adalah biaya sendiri, dan dalam satu tahun terakhir dimana 2,3 % penduduk Indonesia melakukan rawat inap dengan biaya rata- rata sebesar Rp.1.700.000 dimana 53,5% adalah biaya sendiri. Sedangkan untuk rakyat yang melakukan pengobatan sendiri tanpa melalui pelayanan tenaga medis dengan cara mebeli obat di warung masi mencapai 26,4%.
Dengan adanya program baru pemerintah yang dikenal dengan sebutan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dalam pelaksanaanya di selenggarakan oleh suatau badan yang di sebut Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bukan tidak mungkin pelayanan kesehatan dan perlindungan social lainya akan semakin mengkhawatirkan buat rakyat pekerja Indonesia. Ini disebabkan melalui BPJS pemerintah relative tidak mengalokasikan anggaran negara untuk membiayai jaminan sosial bagi rakyat  melainkan sebagaian besar pelayanan sosial di bebankan kepada rakyat melalui iuran. Singkatnya negara telah melepas tanggungjawabnya untuk memberikan perlindungan sosial kepada rakyat padahal perlindungan social negara adalah hak seluruh rakyat Indonesia.

Situasi Umum Dinamika Gerakan Rakyat
Gerakan Buruh
Secara umum gerakan buruh saat ini tidak jauh berbeda dengan gerakan-gerakan sebelumnya,kaum buruh masi berkutat dengan isu kerja kontrak /out sourcing,pemberangusan serikat/Union Busting dan upah murah. Meskipun ada kemajuan dalam beberapa federasi yang mengangkat isu tolak frivatisasi BUMN namun suaranya masih sayup-sayup terdengar.
_____________________

Yang paling signifikan dalam gerakan buruh satu tahun terakhir ini adalah kesatuan aksi buruh yang tergabung dalam Konsolidasi Nasional Gerakan Buruh (KNGB) pada oktober 2013. Gerakan ini mampu memobilisasi hampir semua serikat buruh seluruh Indonesia dalam aksi Mogok Nasional (Monas).
Namun keberhasilan mobilisasi buruh ini tidak sehebat dengan tuntutan politiknya,gerakan yang relative besar ini hanya berkutat dengan tuntutan normative bahkan terkesan konsumtif. Adalah benar gerakan ini mampu menaikan upah buruh secara nasional namun kenaikan upah ini tidak merubah status dan kondisi kerja,buruh masi terus terikat dengan  kerja kontrak /out sourcing. Tidak ada satupun tuntutan buruh yang mengarah kepada perlindungan sosial sebagai hak warga negara.
Sebagai contoh dalam komponen standar Kebutuhan Hidup layak (KHL) yang di usulkan buruh tidak satupun tuntutan perlindungan reproduski buruh perempuan dimasukan,seperti ruang laktasi/menyusui bagi para ibu untuk memberikan asupan nutrisi eksklusif bagi bayi mereka, serta tempat penitipan anak (daycare unit), hak khusus seperti hak cuti hamil, hak cuti melahirkan, hak cuti tertentu sebagai kodrat perempuan dengan tetap mendapatkan bayaran upah secara penuh, hak untuk Perawatan setelah aborsi,hak untuk mendapatkan Screening dan deteksi dini penyakit-penyakit berbahaya. (misalnya kanker leher rahim/serviks) dan lain-lain.3
Aksi Monas ini semata-mata hanya meminta kenaikan upah dan tak menyetuh sedikitpun hak perindungan sosial sebagai warga negara,bahkan menuntut pemerintah untuk mengendalikan harga bahan pokok pun luput dari gerakan buruh saat terjadi Mogok Nasional KNGB. Dalam aksi hari buruh sedunia 1 mei 2014 sebagai hari libur pertama buat kaum buruh dalam kalender indonesia juga demikian pendeknya semua bisa di jawab dengan uang jika ada kenaikan upah tanpa pertimbangan inflasi yang akan selalu melonjak. Patut disayangkan memang dengan eklususifnya gerakan buruh ini karena arah menuju persatuan perjuangan rakyat pekerja secara keseluruhan yang lebih besar belum menjadi agenda yang nyata.

Gerakan Petani
Gerakan petani Indonesia hari kehari di era reformasi ini justru jauh lebih memprihatinkan selain menghadapi kondisi mahalnya biaya produksi pertanian seperti pupuk, bibit, alat bajak dan penggilingan yang tak sebanding dengan harga produk-produk pertanian yang di hasilkan justru petani Indonesia dibiarkan bertahan dan bertarung sendiri (tanpa insentif dan subsidi pemerintah), menghadapi banjirnya  produk-produk pertanian impor yang justru diberikan kemudahan untuk masuk ke indonesia. Belum lagi menghadapi spekulan harga di pasar, mengahadapi rentenir dan sulitnya mendapatkan permodalan untuk meningkatkan produk-produk pertanian, perkebunan dan peternakan bagi petani. Kondisi ini kemudian di perparah dengan banyaknya kriminalisasi yang di lakukan negara dan perusahan baik swasta maupun nasional kepada petani yang mempertahankan hak atas tanah dan wilayah kelolanya,baik dari perusahaan perkebunan maupun pertambangan.
______________________

Menurut Konsorsium Pembaruan Agrarian (KPA) kekerasan yang dialami petani yang dilakukan oleh Negara bertambah setiap tahunnya. Pada laporan KPA 2012 terdapat 941 petani ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63 orang diantaranya mengalami luka serius akibat peluru aparat, serta meninggalnya 44 orang di wilayah-wilayah konflik tersebut dalam kurun waktu delapan tahun. Dalam kondisi yang penuh tekanan inilah gerakan petani seperti jalan di tempat,meskipun ekskalasi aksi petani setiap tahunnya meningkat namun petani masi berkutat dengan persoalan advokasi dan belum dapat melampaui lebih dari itu. Akibat tekanan yang banyak beberapa organisasi petani terpaksa membangun konsesesi dengan elit-elit politik baik di nasional maupun lokal guna mengurangi tingkat represipitas maupun membantu petani dalam mendapatkan hak kelolanya namun pada jangka panjang konsesi tersebut bisa berujung kooptasi yang bisa menghambat kemajuan organisasi menuju kesadaran yang lebih politik guna membangun persatuan perjuangan rakyat apalagi pada prinsipnya organisasi petani belum melepaskan diri pada pembangunan organisasi yang rasional lepas dari sandaran pada kepemimpinan seorang tokoh yang kharismatik.

Gerakan Nelayan

Terkenal sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah perairan 5,8 juta km2, luas daratan hanya 1,9 juta km2,dan memiliki 17.508 pulau besar dan kecil, serta panjang pantai seluas 95.000 km2, pada kenyataannya Indonesia tiadak visi kelautan yang menjadi rujukan pokok pembangunan.4
Persis seperti petani nelayan kecil sebagai bagian rakyat pekerja juga sangat terkendala dengan permodalan dalam melaut. Mulai dari teknologi yang tradisonal sampai mahalnya biaya dalam aktifitas penangkapan ikan. Kondisi ini makin di perparah dengan Kenaikan harga bahan bakar ditambah lagi dengan kelangkaan BBM di daerah- daerah pesisir sehingga banyak nelayan yang terjerat utang kepada tengkulak. Bagaimana tidak, terbatasnya stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) dan kios pengisian solar nelayan di sentra produksi, memaksa nelayan membeli bahan bakar eceran yang harganya lebih mahal. Ditambah lagi dengan adanya penghapusan subsidi minyak tanah yang semakin menambah derita nelayan, karena keluarga nelayan sangat bergantung pada minyak tanah untuk kegiatan sehari-harinya.
Diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor PER.12/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Laut Lepas dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) semakin memperburuk kehidupan nelayan tradisonal Indonesia. Permen ini ditetapkan untuk mendorong investor, utamanya dari dalam negeri untuk melakukan usaha penangkapan ikan di laut lepas.
Jalan keluar nelayan hanyalah dengan menjadi anak Buah Kapal (ABK) di kapal berukuran di atas 30 GT yang dapat diberi izin menangkap ikan di perairan kepulauan dan ZEEI. Anak buah kapal ini juga tanpa perlindungan apapun dari Negara. Perlawanan nelayan seperti yang tergabung dalam Front Nelayan Bersatu (FNB) waktu menggelar aksi demonstrasi di depan Istana Negara beberapa waktu lalu menolak rencana pemerintah untuk mencabut subsidi solar sejatinya hanya menguntungkan pemilik kapal.
________________________________


Nelayan terpaksa melakukan aksi demo ini karena dengan kebijakan tersebut mereka akan kehilangan mata pencaharianya sebagai anak buak kapal dengan bobot 30 GT.
Keperpihakan pemerintah dalam pengeloalaan perikikan kepada pemilik modal semakin nyata dengan pepres ini. Dengan memberikan izin memindahkan ikan (transshipment) bagi kapal 1.000 GT yang dapat dapat diartikan untuk memfasilitasi kapal-kapal ikan asing, ini dikarenakan pemerintah belum memiliki kapal dengan bobot 1000 GT.
Namun tidak semuanya nelayan tradsional berlalih menjadi “buruh” kapal masi banyak nelayan yang bertahan dengan cara tradisonal dengan kapal maximal berkeuatan 5 GT atau bahkan tidak menggunakan mesin sama sekali dengan resiko kehidupan keluarga yang begitu rentan. Dalam keadaan tidak bisa melaut akibat cuaca buruk maka curahan waktu kerja yang tanggung oleh isteri nelayan jauh lebih lama dibandingkan dengan suami mereka (nelayan) yakni mencapai 17 jam sebab kebanykana istri nelayan memiliki beban-ganda (double-burden) ini dikarenakan selain mengurus keluarga mereka juga menecari alternative pendapatan di tempat lain seperti pekerja rumah tangga misalnya.
Demikianlah kondisi nelayan Indonesia secara umum sehingga pembangunan organisasi dan agenda gerakan seperti jalan di tempat dengan banyaknya persoalan yang menyakut kebutuhan-kebutuhan dasar maka gerakan nelayan menuju gerakan yang lebih politis menjadi sesuatu yang sangat berat namun bukan berarti mustahil. Kedepanya gerakan nelayan mesti lebih focus untuk menutut pemerintah memberikan perlidungan yang jelas bagi nelayan seperti  Modal usaha untuk produksi dan pengolahan,asuransi iklim dan jiwa, Subsidi BBM dan biaya produksi,Insentif penjualan harga ikan di Tempat Pelelangan Ikan,Penghapusan pungutan perikanan; dan  jaminan penggantian kapal bila terjadi kerusakan.

Gerakan Masyarakat Adat

Seperti gerakan petani dan nelayan gerakan masyarakat masyarakat adat juga seperti mengalami stagnan. Masyarakat adat masi berkutat soal advokasi demi mempertahankan hak kelolanya atas sumber- sumber agraria. Meskipun keputusan Makhamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang pengeluaran hutan adat dari hutan Negara telah menjadi kekuatan hokum tetap dalam penggelolaan hutan bagi masyarakat adat namun implementasi di daerah-daerah masi belum terjadi. Banyak kendala yang dihadapi dilapangan terkait penetapan hutan adat melalui peraturan daerah (Perda) diantaranya disebabkan sebelum ada putusan MK wilayah hutan adat telah di berikan pengelolaanya kepada swasta oleh pemerintah daerah. Upaya pemetaan yang demokratis terkait wilayah hutan adat antara masyarakat adat dan pemerintah (Kementrian Kehutanan) adalah jalan keluar demi kadaulatan msyarakat adat sebagaimana amanat oleh konstitusi. Karena tanpa pemetaan yang jujur, transparan dan demokratis kemukinan besar konflik ruang yang selama ini terjadi antara masyarakat adat dan Negara akan tetap terjadi.
Tantangan kedepan bagi gerakan masyarakat adat adalah tentang pengelolaan sumber-sumber agraria agar benar- benar sesuai dengan amanat konstitusi yakni ditujukan sebesar-besarnya kamkmuran rakyat. Ini sangat penting menjadi pertimbangan dikarenakan praktek politik transaksional seperti kami sebutkan diatas sangat mungkin mengkooptasi gerakan sehingga keluar dari tujauan awal organisasi saat didirikan.

Gerakan Perempuan

Gerakan perempuan masi memiliki tantangan yang berat dalam agenda perjuanganya kedepan. Sebagaimana menurut data laporan yang diterima Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan yang dilansir Tempo terncatat adanya peningkatan temuan korban kekerasan pada perempuan. Komnas perempuan merekam 279.760 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2013, lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 216.156 kasus. Jumlah ini mungkin akan jauh lebih besar karena banyak kasus yang tidak dilaporakan ke Komnas Perempuan.5
Meskipun sejak era reformasi perjuangan gerakan perempuan mendapat tempat setelah kehancuranya pada 1965 dan peberdayaan perempuan telah menjadi agenda nasional namun sejatinya perempuan masih rentan terhadap ketertindasan dengan maraknya kekerasan dan eksploitasi baik yang langsung maupun terselubung dalam relasi keluarga. Secara langsung kita dapat melihat banyaknya kekerasan yang disebutkan diatas bahkan Negara bermuka dua dalam pemberdayaan perempuan ini terang terliahat dengan produk-produk hukum pasca 1998 dari Perda Syariah di Aceh dan di Jawa Barat hingga undang-undang anti-pornografi justru melanggengkan sistem patriarki dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek yang dikontrol. Secara terselubung Perempuan-perempuan rakyat pekerja cendrung mengalami beban ganda sebagai ibu yang mengurus rumah tangga sekaligus pencari nafkah keluarga.
Dalam kancah politik meskipun Negara telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang mewajibakan keterwakilan peempuan 30% bagi Parpol Peserta Pemilu untuk  mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan namun keterwakilan perempuan relatif menurun pada pemilu 2014 ini. Perempuan kehilangan enam kursi perwakilannya di DPR untuk periode masa bakti 2014-2019 yang pada pemilu 2009 perempuan memperoleh 103 jumlah kursi namun pada pemilu 2014 perempuan hanya memperoleh 97 kursi ini pun belum pasti mewakili kepentingan perempuan secara umum. Sekali lagi ini adalah dampak dari politik transaksional yang sangat merusak dalam pentas pemilu dinegara kita sehingga wakil-wakil perempuan rakyat pekerja akan susah terlibat dalam proses politik electoral yang mensaratkan biaya politik yang besar.
Selain itu seperti yang telah kami singgung sebelumnya perlindungan terhadap reproduksi perempuan masi menjadi isu dalam agenda perjuangan kedepan ini dikarenakan Negara terkesan lepas tangan dalam melaksanakan fungsinya dalam upaya perlindungan kesehatan reproduksi perempuan. Upaya pemerintah melalui mekanisme BPJS yang telah kami sebutkan sebelumnya belum menjamin perlindungan kesehatan reproduksi yang sejati buat perempuan. Inilah yang menjadi tantangan kedepan bagi perempuan untuk dapat beregerak lebih maju lagi dalam memeprjuangkan hak-haknya khususnya perempuan rakyat pekerja.

__________________________

Penutup
Perjuangan rakyat pekerja Indonesia tidak dapat di lepaskan dari dua isu besar yakni Reforma Agraria (Pembaruan Agraria) dan pembangunan Industry Nasional. Namun untuk dapat mewujudkan itu diperlukan suatu langkah besar buat rakyat pekerja secara keseluruhan langkah besar itu adalah persatuan seluruh gerakan rakyat pekerja agar dapat merebut kekuasaan politik. Tantangan kedepan bagi rakyat pekerja Indonesia adalah membangun alat politiknya sendiri. Sangat tidak mudah memang dengan situasi yang dihadapi sekarang ini, dimana hampir seluruh peraturan perundangan di bentuk oleh oligargi politik diperuntukan untuk kepentingan modal. Rezim oligarki politik yang mejalankan agenda neoliberal telah melepaskan tanggungjawabnya dalam mewujudkan perlindungan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia serta mengisolasi gerakan rakyat agar tunduk terhadap kepentinganya melalui politik transaksional yang memakan biaya besar.

Karena tantangan yang tidak mudah itulah maka untuk mewujudkan cita-cita gerakan rakyat tidak ada jalan lain selain mebangun basis gerakan secara teritorial dimana rakyat pekerja seluruhnya bahu membahu,bersatu padu dan bergotong royong merebut kepemimpinan politik disetiap tingkatan wilayah dengan alatnya sendiri,kekuatannya sendiri dan melahirkan pemimpinnya sendiri. Tanpa itu semua cita-cita gerakan rakyat hanya akan menjadi mimpi tanpa mewujud menjadi kekuasaan yang melindungi seluruh rakyat Indonesia.

Telah lama kita alami bahwa fragmentasi gerakan tidak membawa perubahan apapun bagi rakyat pekerja Indonesia,kita hanya akan selalu terjebak dan mengulangi situasi yang penuh ketertindasan dan perampasan atas hak sebagai warga Negara.

Akhirnya tidak ada jalan lain untuk mewujudkan Keadilan Agraria dan Pembangunan Industri Nasional yang terpadu, kuat dan mandiri menuju kesejahteraan rakyat yang adil, makmur dan setara bila kedaulatan bukan di tangan Rakyat. ***


Tulisan ini sebelumnya dipresentasikan sebagai pembacaan Situasi Nasional dalam pertemuan Dewan Nasional  Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) di bandung tahun 2014