Cegah Konflik Saat dan Setelah Pilkada, Sambut Pilkada Damai dan Cerdas
STOP Rasialisme!!
“Sudah Saatnya Putra Daerah Ambil Kendali Sebagai
Bupati”, “Putra Daerah harus memimpin, Pendatang harus dipimpin”, begitulah
bunyi desas desus, gosip dan pembicaraan yang sangat berbau rasial dan sangat
anti terhadap kebinekaan Desas-desus seperti ini makin kencang diberbincangkan
menjelang pilkada 2015 ini. Dalam Moment Pilkada Pada Umumnya Putra
Daerah sebagai isu utama yang mendorong Terjadinya Konflik Horisontal
Saat Berlangsung dan Pasca Pilkada.
Kenapa? Karena Mayoritas calon pemilih masih berkutat pada
hal-hal yang tidak rasional, seperti suku asal calon kepala daerah dan
kedekatan keluarga. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa definisi dari
putra daerah itu? Apakah ada hubungannya antara putra daerah dan bukan putra
daerah dengan kesejahteraan masyarakat? Kita harus jernih hati untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Menurut teori Samuel P. Huntington ada
tiga kategori tentang putra daerah. Pertama,
putra daerah genealogis atau biologis, yaitu seseorang yang dilahirkan di
daerah tersebut. Kategori ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu seseorang yang
dilahirkan di daerah tersebut berasal dari orang tua, baik salah satu maupun
keduanya berasal dari daerah itu, dan juga seseorang yang dilahirkan di daerah
tersebut tetapi orang tuanya bukan berasal dari daerah yang bersangkutan.
Kedua, putra daerah pragmatis, yaitu
seseorang yang lahir di daerah tertentu dan berhubungan dengan daerahnya hanya
untuk mengambil keuntungan bagi dirinya secara pragmatis. Ia memiliki hubungan
politik dan/atau ekonomi dengan daerah kelahirannya. Misalnya, menjadi anggota
legislatif mewakili daerah asal, yang sebelumnya tidak memiliki kiprah politik
di daerahnya. Atau, seseorang yang menanamkan uangnya dalam bentuk investasi di
daerah asal karena melihat potensi bisnis yang layak dikembangkan, dan lain
sebagainya.
Ketiga, putra
daerah sosiologis, yaitu seseorang yang, dalam kurun waktu lama, hidup, tumbuh,
berkembang dan berinteraksi dengan masyarakat dimana ia tinggal. Ia telah
menginternalisasi identitas dan karakter masyarakat, membangun ikatan emosional
dengan masyarakat, serta menjadi bagian dari masyarakat setempat dan secara
bersama-sama membangun daerah demi kemajuan buat semua.
Berdasarkan
beberapa kategori tersebut maka sudah tidak relevan lagi jika kita masih
memunculkan isu putra daerah dan bukan putra daerah dalam Pilkada. Dikotomi
putra daerah dan bukan putra daerah justru akan merusak bangunan demokrasi dan
tatanan kehidupan kita sebagai sebuah bangsa dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Jika isu ini selalu dihembuskan, maka akan berdampak
pada tiga hal, sebagai berikut;
Pertama, munculnya
kembali semangat primordialisme, yaitu rasa kesukuan yang berlebihan. Memandang
orang per-orang dari latar belakang kesukuannya, silsilah feodal atau
kebangsawanannya sehingga dalam melihat persoalan selalu menggunakan perspektif
dan nilai ajaran sukunya, kebangsawanan atau kefeodalanya dan/atau keluarganya sendiri
secara sempit dan manipulatif. Bangkitnya primordialisme akan mengancam
kerukunan dan integritas masyarakat secara luas. Akan muncul rasa tidak senang,
cemburu, curiga, yang mengarah pada kebencian dan penolakan terhadap orang lain
yang diidentifikasi bukan bagian dari kelompoknya.
Kedua, ancaman
terhadap nasionalisme dan persatuan bangsa. Isu putra daerah merupakan bentuk
perongrongan secara laten terhadap nilai-nilai dan semangat nasionalisme, serta
proses integrasi bangsa. Hal ini juga mengandung makna adanya pengkhianatan
terhadap Bhinneka Tunggal Ika, sebagai semboyan dan roh dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Jika ini dibiarkan, maka bangsa ini akan mundur dan
berkeping-keping persis ketika kolonialisme menjajah bumi pertiwi tercinta ini.
Ketiga, mencederai
substansi demokrasi. Demokrasi memberikan hak yang sama bagi setiap orang untuk
memilih dan dipilih dalam aktivitas politik, baik itu pemilihan bupati,
walikota, gubernur, presiden maupun anggota legislatif. Menghembuskan isu putra
daerah berarti menghalang-halangi, sekaligus menghilangkan kesempatan seseorang
untuk turut berkompetisi secara fair dalam setiap aktivitas politik.
Apalagi isu
putra daerah jelas adalah ungkapan yang sangat bias Gender, Karna akan ada
pertanyaan kenapa bukan Putri daerah?
Bias gender adalah pembagian posisi dan peran yang tidak adil antara laki-laki
dan perempuan. Perempuan dengan sifat feminis dipandang selayaknya berperan di
sektor domestik, sebaliknya laki-laki yang maskulin sudah sepatutnya berperan
di sektor publik. Bias Gender adalah kebijakan/ program/ kegiatan atau kondisi
yang memihak atau merugikan salah satu jenis kelamin dalam hal ini perempuan.
Memang,
menjelang pilkada ini, suhu politik di Kabupaten Banggai meningkat sejalan
dengan semakin banyaknya bakal calon bupati dan wakil bupati melakukan
konsolidasi dan merebut simpati masyarakat dengan caranya masing-masing. Sisi
positif yang semestinya dilihat dari dinamika tersebut adalah bahwa momentum
pilkada langsung ini harus dijadikan wahana pembelajaran politik yang sehat
bagi masyarakat.
Pemilihan
Kepala Daerah secara langsung harus dibaca sebagai suatu keinginan untuk
mendapatkan Kepala Daerah yang handal, berintegritas, dipercaya masyarakat
(merakyat) dan mampu membawa perbaikan kongkrit di masyarakat. Pemilihan Kepala
Daerah secara langsung harus pula dibaca sebagai upaya untuk mewujudkan
karakter kepemimpinan yang menjadi idaman rakyat, serta memberi manfaat bagi
sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Dengan
demikian, pemilihan Kepala Daerah secara langsung juga menuntut suatu proses
pemilihan yang fair, adil dan terbuka, yang jauh dari praktek Politik Uang/money
politic, politik teror, intimidasi, ataupun cara-cara kotor yang melawan moral
sosial, moral agama dan konstitusi, seperti black campaign, fitnah, adu domba,
dan lain-lain.
Rakyat
memiliki hak konstitusional untuk memilih pemimpinnya, siapapun itu dan dari
manapun asalnya, asal memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku di
Negara Kesatuan Republik Indonesia karena jelas istilah “putra daerah” tidak
pernah menjadi syarat untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana dijelaskan
dalam undang-undang republik indonesia
nomor 8 tahun 2015 tentang
perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan
pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan
gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang. Sebab sejatinya rakyat memiliki
hak konstitusional untuk mendapatkan layanan berkualitas, yakni suatu layanan
berupa gerak pembangunan yang sejalan dengan aspirasi (partisipatif),konstitusi
dan tujuan nasional bangsa.
Atas dasar
itulah, semestinya kita membangun cara berpikir dan sikap kita untuk menilai
para bakal calon bupati dan wakil bupati. Sejauh mana kapabilitas dan
akseptabilitasnya terhadap rakyat, bangsa dan negara ini. Bukan cara usang yang
dapat mengakibatkan konflik dengan menyebar isu putra daerah yang sama sekali
menyesatkan rakyat. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar