PRRI/Permesta,GPST
dan Pengkhianatan Elit KeTomundoaan Banggai 1958
Oleh
: Budi Siluet
“Ada sebuah ruang
dalam kebudayaan, yang di dalamnya kedustaan, yang dikemas dengan kemasaan yang
menarik, dapat berubah menjadi kebenanran; kepalsuan yang ditampilkan lewat
teknik penampakan dan pencitraan yang sempurna, dapat tampak sebagai keasalian “
(Yasraf Amir Piliang)
Pendahuluan
Tulisan sederhana ini
dibuat karena “terprovokasi” oleh perdebatan dimedia sosial (Facebook) beberapa
waktu lalu antara @Ancu Juliana Cahya dan @Fadli Aktor yang sempat menyinggung
tentang Permesta. Dalam perdebatan itu saya sempat berjanji untuk menuliskan
catatan singkat tentang Permesta khususnya dikabupaten Banggai kaitanya dengan
perlawanan Gerakan Pemuda Sulawesi Tenggah (GPST) serta posisi politik Elit di Luwuk
Banggai saat itu.
Saya berkeyakinan akan
banyak yang bertanya dan bahkan mencaci maki tulisan bersahaja ini, baik informasinya
maupun waktunya dan dapat dipastikan bahwa tulisan ini bepretensi politis dan
menyerang salahsatu kandidat. Dipastikan akan ada yang bertanya kenapa nanti
saat ini? Saat Pilkada akan berlangsung dan seterusnya. Namun segala
konsekwensinya akan saya pertanggungjawabkan. Namun yang terpenting dari semua
itu dari hati yang terdalam saya sangat berharap tulisan singkat dan bersahaja ini
disambut oleh tulisan-tulisan lain yang lebih baik lagi dari segi isi maupun
penyajiannya. Tujuanya hanya satu yakni ingin membangun perdebatan yang lebih
konstruktif dan ilmiah tentang sejarah khususnya di kabupaten Banggai.
Tulisan bersahaja ini pada
perinsipnya bercerita secara singkat tentang Pengkhianatan Tomundo (Raja) Banggai terhadap Pemerintah
NKRI dan mendukung pendudukan Permesta di Luwuk Banggai pada tahun 1958 padahal
jelas bagi kita keberadaan Permesta atau PRRI/Permesta terkait erat dengan keterlibatan
Imperialis Amerika didalamnya akibat politik anti Imperialis Sukarno. Namun
sebelum kita sampai pada kesimpulan itu saya pikir perlu untuk secara singkat saya
bercerita tentang Permesta atau lebih lengkapnya PRRI/Permesta kemudian sedikit
tentang GPST yang pada awalnya diperuntukan untuk perjuangan pemekaran propinsi
Sulawesi Tengah namun kemudian menjadi kekuatan sipil bersenjata yang mendukung
pemerintahan pusat yang sah. Selanjutnya secara khusus tentang perlawanan GPST terhadap
Permesta di Luwuk Banggai serta posisi politik elit di banggai saat itu
khususnya Tomundo (Raja) Banggai yang juga adalah Kepala Pemerintahan Negeri
(KPN). Dibagian penutup saya akan mendiskusikan tentang awal keberadaan dan pengaruh
politik ketumondoan Banggai yang masih terasa sampai saat ini.
Sekilas
Tentang PERMESTA
PERMESTA adalah
singkatan dari Perdjuangan Semesta
atau Perdjuangan Rakjat Semesta yaitu
sebuah gerakan makar kelompok militer di Indonesia.
Gerakan ini dideklarasikan pada 2 Maret
1957
oleh Letkol Ventje Sumual. Pada awalnya
gerakan ini berpusat di Makassar
yang saat itu merupakan ibu kota Sulawesi.
Namun Setahun kemudian, pada 1958
markas besar Permesta dipindahkan ke Manado.
Dalam deklarasinya di Manado Permesta secarah tegas memutus hubungan dengan
pemerintahan pusat di jakarta yang saat itu dipimpin Presiden Sukarno dan
Perdana Mentri Juanda. Selanjutnya Permesta mendeklarasikan dukunganya kepada Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
atau dikenal dengan singkatan PRRI yang berpusat di Padang,
Sumatera Barat, yang dipimpin Mr. Sjafruddin Prawiranegara
sebagai Presiden dan Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan. Permesta
akhirnya lebih dikenal dengan sebutan PRRI/Permesta.1
Gerakan PRRI/Permesta
jelas adalah gerakan pemberontakan terhadap pemerintahan pusat yang sah.
Gerakan ini selain beberapa isu terkait perimbangan kekuasaan antara pusat dan
daerah secara mendasar diakibatkan oleh kebijakan politik luar negeri Presiden
Sukarno yang sangat anti terhadap Imperialisme dan Kolonialisme atau yang
sering dia istilahkan dalam pidato-pidatonya dengan singkatan Neokolim. Secara
kongrit kebijakan politik anti neokolim ini adalah program Nasionalisasi
aset-aset asing yang ada di Indonesia saat itu termasuk PT. Kalteks di Riau yang mengeksplotiasi
minyak sejak masa Hindia Belanda. Sebagai konsekwensi dari politik luar negeri
yang sangat radikal ini adalah adanya ketidakpuasan negara-negara Imperialis
khususnya Amerika,Inggris dan Belanda.
Keterlibatan
negara-negara Imperialis khususnya Amerika Serikat nampak nyata dalam
peristiawa PRRI/Permesta. Amerika Serikat memberi support dan bantuan apa saja
untuk PRRI/PERMESTA, seperti dana sebesar US$ 7 juta dan Persenjataan-
persenjataan modern dari Amerika, seperti LMG 12,7 MM, penangkis serangan
udara, Bazooka, Granat semi automatis, persenjataan Infantri, dan lain- lain yang
diturunkan dari kapal terbang pengangkut AS di hutan hutan Sumatra untuk
melengkapi persenjatan militer PPRI/Permesta guna melawan
Pemerintahan Republik Indonesia. 2
Sekilas Tentang
GPST
GPST
adalah singkatan dari Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah, sebuah Organisasi
kepemudaan yang didirikan tanggal 5 Desember 1957 oleh pemuda-pemudi Sulawesi
Tengah. Pada awalanya organisasi ini didirikan untuk memekarkan Sulawesi
Tenggah menjadi daerah otonom namun karena adanya gerakan Permesta yang semakin
meresahkan masyarakat saat itu maka GPST dibawah pimpinan Asa Bungkudapu
melakukan gerakan perlawan terhadap gerakan makar yang diorganisir oleh
petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) diwilayah teritori Pangdam VII
Wirabuana. Tercatat nama dari petinggi TNI di Sulawesi ketika itu, seperti Alexander Evert Kawilarang atau lebih populer
dengan nama Alex Kawilarang yang mundur dari jabatannya sebagai atase militer
Indonesia di Amerika Serikat untuk menjadi jenderal di tentara Permesta.
Gerakan
Perlawanan GPST terhadap pemberontakan yang diakukan PRRI/Permesta meliputi keseluruhan
Kabupaten Poso, mulai dari Poso, Mori, Bungku, Tojo, Ampana, hingga Luwuk
Banggai. Perlawanan GPST ditandai dengan melakukan deklarasi tanggal 30 April
1958 yang menyatakan kesetiaan GPST kepada Republik Indonesia dan tekat untuk
melawan Permesta. Deklarasi yang bernama “Naskah Korontjia” itu ditanda-tangani
oleh Asa Bungkudapu atas nama Ketua Umum GPST dan Alex Soetadji, Wakil KDO
RTP-16 Brawidjaja. Sejatinya GPST adalah milisi sipil bersenjata (partisan)
yang didukung oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berpusat di Jakarta. 3
GPST di Banggai dan Perlawanan Terhadap PRRI/Permesta
Pada
tahun 1958 Banggai masih dalam wilyah Kabupaten Poso dengan perwakilan
Pemerintahan distrik yang disebut Pemerintahan Negeri yang di pimpin oleh
seorang Kepala Pemerintahan Negeri (KPN). Dengan dideklarasikannya Permesta
maka secara otomatis Luwuk Banggai merupakan bagian dari wilayah permesta,
bahkan secara sepihak Luwuk Banggai menjadi teritori milter Permesta dengan
sebutan Daerah Angkatan Permesta dan ditetapkan menjadi Kabupaten oleh Penguasa
Milter permesta. Dengan semakin menegangnya hubungan antara permesta dengan
pemerintaah republik Indonesia maka situasi di Banggai khususnya Kota luwuk
semakin tidak jelas. Keadaan darurat yang diberlakukan oleh pemerintahan
Militer dan sipil dibawah Permesta membuat situasi semakin parah. Sembilan
bahan pokok semakin langkah, penangkapan-panangkapan terhadap orang yang diduga
pro terhadap pemerintah yang berpusat di Jakarta juga semakin gencar dilakukan
oleh pihak Permesta.
Untuk
menghadapi situasi yang semakin tidak menentu ini perwakilan GPST dari Poso dan
Makasar segera mengirim perwakilannya untuk mengorganisir pemuda-pemuda di
Luwuk Banggai guna mengahadapi tentara Permesta. Adalah Edi Martono dan Robert
M. Tengkow yang kemudian memimpin perlawanan terhadap Permesta. Dari hutan –
hutan Balantak,Nambo,Batui hingga Toili perlawanan pemuda yang tergabung di
GPST terhadap Permesta berlangsung sengit, dukungan masyarakat terhadap GPST
menjadi kunci GPST dapat bertahan dari gempuran tentara Permesta yang memiliki
persenjataan lengkap dan terlatih dalam pertempuran. Dukungan masyarakat bukan
berarti tanpa resiko, seperti yang terjadi di Nambo Padungnyo dimana Permesta
secara kalap menyiksa dan menembak masyarakat hingga korban tewas tak dapat
dihindari. Dalam operasi tumpas yang dilakukan Permesta seperti yang terjadi
dalam perang pada umumnya korbannya adalah Perempuan, lansia dan anak-anak.
Pengkhianatan
Elit KeTomundoaan Banggai
Ditengah situasi yang
semakin menggelisahakan rakyat akibat tindakan makar yang dilakukan oleh
PRRI/Permesta hanya Camat Batui yang berani mengambil sikap. Badaru Salam atau
yang lebih dikenal dengan B.Salam dengan tegas menentang dan mengkonsolidasikan
kekuatan pemuda yang tergabung di GPST untuk menghalau gerakan opensif Permesta.
Kepala Pemerintahan
Negeri (KPN) yang juga adalah Tomundo Banggai justru mengambil jalan
sebaliknya. Setelah mendengar tindakan perlawanan yang dilakukan oleh camat
B.Salam melalui tindakan pengkonsolidasian pemuda yang tergabung di GPST,
Syukuran Aminudin Amir segera memanggil B.Salam untuk menghadap di kantornya di
Luwuk untuk menjelaskan tindakanya mendukung anak-anak muda yang tergabung di
GPST, namun dengan tegas B.Salam tidak mengindahkan panggilan atasanya
tersebut.
Dalam salasatu
kesempatan pada tanggal 14 Mei 1958 pasca operasi tumpas yang dilakukan Permesta
di Nambo H.Syukuran Aminudin Amir dan A. Daeng Matorang selaku Dewan
Pertimbangan Daerah Permesta bersama pasukan Permesta bersenjata lengkap
dibawah pimpinan Kapten Mongan mengumpulkan masyarakat Nambo untuk “menenangakan”
dan mengabil simpati masyarakat agar tidak mendukung perjuangan GPST. Dalam
pertemuan itu Syukuran Aminudin Amir mengatakan; saya kutipkan dibawah ini :
“
Bapak –bapak, saudara –saudari dan adik-adik yang terhormat, saya berdiri
dihadapan kalian sekalian bukan sebagai Kepala Daerah atau KPN, tatapi saya
adalah raja Banggai, sudah tentu hal ini sama dimaklumi [...] Saudara sama tahu
itu Eddy Martono yang tempo hari jadi guru SMP Cokro-Aminoto, Di Nambo ia ada
punya kawan lima orang sudah itu yang menamakan dirinya GPST yang sekarang ini
berada di Batui bersama-sama dengan orang-orang yg mencuri senjata api dari Luwuk,apakah
kalian percaya Eddy Martono atau sama saya Raja Banggai? Diminta dengan hormat
kepada saudara-saudara jangan melakukan pekerjaan yang melanggar hukum,seperti
membongkar jembatan-jembatan yang ada,menebang pohon-pohon kayu serta
pohon-pohon kelapa kemudian dibentangkan dijalan raya,ini semua pekerjaan yang
tidak baik atau jahat kalau saja saya tunjuk orangnya yang melakukan ini adalah
saudara-saudara sendiri di Nambo”. (Haliadi
Sadi,Syakir Mahid dan M.Anas Ibrahim, Kata Pengantar Prof.Dr.Djoko Suryo; Ombak 2007,Halaman 190-191) 4
Melalui pernyataan ini jelaslah bahwa posisi politik KPN yang juga raja
Banggai saat itu adalah mendukung pendudukan Permesta dan yang dimaksud dengan
hukum saat berbicara kepada masyarakat Nambo adalah jelas hukum moncong senjata
Permesta. Bukanya memberikan empati kepada rakyat yang dengan segala
keterbatasanya dalam menghalau operasi tumpas Permesta Syukuran Aminudin Amir
justru melakukan hal yang sebaliknya. Efek yang diterima masayarakat khususnya
Nambo adalah ketakutan dan kepanikan bahkan komunikasi yang disampaikan pasukan
Permesta lewat penyiksaan dan pembunuhan membawa efek trauma yang
berkepanjangan yang kemudian diperparah lewat represif politis oleh Syukuran
Aminudin Amir sebagai raja Banggai.
Penutup
Berdasar paparan diatas jelas bahwa Permesta (PRRI /Permesta) adalah
suatu gerakan pemerontakan yang didukung oleh kekauatan Imperialisme Amerika.
Meskipun akhirnya pemerontakan tersebut dapat dikalahkan namun itu semua tidak
lepas dari dukukungan nyata rakyat yang secarah khusus di Sulawesi Tengah
adalah Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah atau GPST. Di Luwuk Banggai sendiri
keberadaan GPST tidak sepenuhnya mendapatkan dukungan dari elit politik saat
itu khususnya Tomundo, yang justru pada peristiwa tersebut mendukung pendudukan
Permesta. Seharusnya dan alangkah bermartabatnya apabila Syukuran Aminudin Amir
dengan tegas memposisikan dirinya mendukung pemerintahan yang sah.
Sikap
Oportunis Syukuran Aminudin Amir sebagai pemimpin Luwuk Banggai saat itu secara
diakronik tidak bisa kita lepaskan dari sejarah ketika dia mulai mendapatkan
kekuasaan, yang bisa kita lacak sejak pengangkatanya sebagai Tomundo. Secara
teknis dalam Struktur Kerjaaan Banggai Syukuran Aminudin Amir adalah Mayor
Ngopa (Raja Muda) namun karena kefakuman kekuasaan karena mangkatnya Raja Awaludin pada tahun 1940 dengan
disaksikan oleh Residen Poso pada tanggal 1 Maret 1941 ditunjuklah Syukuran
Aminuddin Amir menjadi Tomundo (Raja)
Banggai. 5
Yang menjadi catatan dari peristiwa suksesi tersebut adalah kuatnya intervensi
pemerintahan kolonial Belanda, ini memang tidak dapat dihindari karena setelah
Nusantara takluk dalam kekuasan Belanda semua suksesi pengangkatan dan
pembagian kekuasaan raja-raja diintervensi oleh kekuasaan Kolonial artinya
pemerintahan kerjaan Banggai adalah bagian dari pemerintahan kolonial Hindia
Belanda.6
Kesadaran bagian dari kolonial itu kemudian ditunjukan secara nyata pada saat
Ageresi Militer Belanda untuk kembali menguasai nusantara yang baru merdeka pasca
berakhirnya perang dunia kedua yang ditandai dengan menyerahnya Jepang tanpa
syarat kepada sekutu. Syukuran Aminudin Amir dengan bangganya menerima jabatan
sebagai kepala
Swapraja Banggai sebagai bentuk dukunganya kepada pemerintahan kolonial
Belanda. 7
Sikap oportunis Syukuran Aminudin Amir
ini bertentangan dengan pemuda-pemuda yang tergabung dalam Gerakan Merah Putih.
Dengan semangat kemerdekaan pemuda-pemuda ini melakukan demonstrasi dan
rapat-rapat akbar untuk menentang keberadaan tentara Belanda di Banggai
meskipun akhirnya Tentara Belanda di Luwuk di bawah pimpinan HPB Letwiller
berhasil melakukan penangkapan besar-besaran kepada para pejuang dan tokoh
Gerakan Merah Putih Luwuk Banggai. Mereka yang di tangkap adalah T.S. Boellah,
Jusuf Monoarfah, A.R. Lanasir, Agulu Lagonah, Go Weng Sui, S. Kirdiat, H.Sunusi
Mangantjo, A.G. Mambu, Ince Umar Dahlan, dr.R.Sutarjo Notoprawiro, R.G.
Makadada, B. Worotikan, Salmin Djibran, dan Abd. R. Al Idrus serta Ahmad
Fulelkhan. Mereka di vonis tanggal 29 September 1947 di Pengadilan Negeri
Militer Belanda Manado oleh Residen Manado Dr.H.H. Horison. Dalam penjara,
mereka di siksa, sehingga sampai ada yang meninggal seperti alm. Sa’dan Kirdiat
yang menghembuskan napas terakhirnya di RSU Dadi Makassar. 8
Sejarah memang tidak selalu ditulis dan
dituturkan sebagaimana mestinya, tidak banyak yang mengerti seperti apa kisah
“Raja” Banggai ini. Kini puluhan tahun berselang sejak kematianya pengaruh
politiknya masi terasa. Namanya terabadikan menjadi nama bandara, patung
didirikan untuk mengenangnya tanpa ada yang mempertanyakan apa yang telah dia
perbuat masa hidupnya. Dan seperti kita ketahui bersama anak-anaknya menjadi
salasatu kekuatan oligarki politik di kabupaten Banggai. Dan seperti budaya
raja-raja salasatu anaknya kinipun mengklaim sebagai raja setelah sukses
menjadi pengusaha dan yang satunya lagi bahkan pernah menjabat Bupati sampai
menamai salasatu bukit tempat berdirinya kantor bupati menjadi singkatan
namanya bersama istri, demikianlah simbol kebesaran memang selalu menjadi
kebanggaan dalam kultur feodalisme kolonial.
Kini setelah tidak terpilih pada pilkada
sebelumnya sang anak kembali mencalonkan diri menjadi bupati, bukan menjadi
suatu persoalan memang karena semua orang indonesia yang dewasa dan sehat serta
memenuhi ketentuan yang disyaratkan oleh undang-undang berhak mencalonkan
diri,semua orang memiliki hak politik yang sama namun yang patut menjadi
perhatian adalah pencalonannya kini didukung sepenuhnya oleh politisi senior
Rifai Dg Matorang. Bukan suatu kebetulan saat 14 Mei 1958 pasca operasi tumpas
yang dilakukan Permesta di Nambo H.Syukuran Aminudin Amir ditemani A. Daeng
Matorang selaku Dewan Pertimbangan Daerah Permesta untuk “menenangkan”
masyarakat Nambo dan kini saat Pilkada 2015 Ma’mun Amir dikawal Rifai Dg
Matorang. Sejarah seperti terulang lagi.***
Luwuk,
September 2015
_______________________________
1 Cerita singkat tentang Permesta yang
menjadi rujukan tulisan ini sebagian besar saya olah dari wikipedia, bisa di
akses di alamat; https://www.google.com/search?q=google+terjemahan&ie=utf-8&oe=utf-8 dan wikipedia bahasa indonesia, bisa diakses
di alamat ini https://id.wikipedia.org/wiki/Perdjuangan_Semesta
2 Lebih
jelasnya soal dinamika politik saat itu lihat Erika,
Muti Dewitari,Rindo Sai‟o, Winda, Makalah Sejarah Hubungan Amerika
Serikat Indonesia “Amerika Serikat Dan
Pemberontakan PRRI/Permesta”Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2009. Dapat
diakses di http://www.sulutiptek.com/documents/permestaamerika.pdf
3 Uriaan lebih detail soal GPST bisa
dilihat di Haliadi Sadi,Syakir Mahid dan M.Anas Ibrahim,
Kata Pengantar Prof.Dr.Djoko Suryo: Gerakan
Pemuda Sulawesi Tenggah (GPST) di Poso 1957 – 1963; Perjuangan Anti Permesta
dan Pembentukan Provinsi Sulawesi Tenggah, Ombak 2007
4 Lihat ibid., hlm 190-191
6 Lebih
jelas terkait intervensi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tehadap
Kerjaan/Kesultanan lihat Takashi
Shiraishi ; Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912-1926
7 Urian tentang Syukuran
Aminudin Amir menerima Jabatan Swapraja lihat Sejarah Kabupaten Banggai diakses
di https://p3bbabasal.wordpress.com/2013/02/02/sejarah-kabupaten-banggai/
Daftar
Rujukan
1.
Ir. Sukarno: Dibawah Bendera
Revolusi: Jilid 2
2.
Haliadi Sadi,Syakir Mahid dan M.Anas Ibrahim,
Kata Pengantar Prof.Dr.Djoko Suryo: Gerakan
Pemuda Sulawesi Tenggah (GPST) di Poso 1957 – 1963; Perjuangan Anti Permesta
dan Pembentukan Provinsi Sulawesi Tenggah, Ombak 2007
3.
Takashi
Shiraishi ; Zaman Bergerak Radikalisme
Rakyat Di Jawa 1912-1926 Pustaka Utama Grafiti 2005
4.
Erika, Muti Dewitari,Rindo
Sai‟o, Winda, Makalah Sejarah Hubungan Amerika Serikat Indonesia “Amerika Serikat Dan Pemberontakan
PRRI/Permesta” Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia 2009.
Dapat
diakses di http://www.sulutiptek.com/documents/permestaamerika.pdf