Minggu, 23 Agustus 2015

Budi Siluet
Pendahuluan
Tulisan sederhana ini hanyalah ungkapan kegelisahan penulis soal gerakan petani[1] (petani miskin dan buruh-tani) di Indonesia yang sepengetahuan penulis, sangat panjang dan menorehkan kisah yang begitu inspiratif, namun juga tragis. Inspiratif karena banyak pelajaran yang dapat kita peroleh, dan tragis karena sampai saat ini perjuangan petani masih belum memperoleh kemenangannya yang sejati. Kemenangan sejati yang dimaksud dalam catatan ini adalah petani miskin dan buruh-tani (sebagai kolektif) dapat menguasai dan memiliki tanah, mengelola dan mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik, baik lokal maupun nasional, demi kepentingannya.
Sejarah perlawanan petani terhadap ketertindasannya adalah suatu cerita panjang sejak penguasaan manusia atas manusia dimulai. Di setiap zaman, dalam formasi sosial tertentu, petani selalu mengambil peran yang menentukan dalam perubahan sejarah peradaban manusia hingga kini.
Tidak perlulah disini saya bercerita soal sejarah perjuangan petani di Indonesia. Banyak penulis yang hebat dan pakar telah mengulas soal itu secara komprehensif, mulai dari zaman raja-raja di nusantara; zaman kolonial; masa Presiden Soekarno, termasuk saat terbitnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA); masa Orde Baru dan sampai era reformasi saat ini. Pada prinsipnya, menurut saya, petani belum menemukan arti kemerdekaan sebagaimana cita-cita Negara Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, seperti termuat dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar (UUD) Negara ini.
Kita semua, khususnya pemerhati persoalan agraria, aktivis maupun petani, pasti telah mengerti bahwa persoalan petani tidak bisa dilepaskan dari penguasaan, penggunaan dan kepemilikan atas tanah dan sumber-sumber agraria yang lain. Singkatnya, tanpa kuasa atas tanah, petani akan berada dalam posisi dibawahkan dalam pergaulan hidup manusia.
Persoalan kuasa atas tanah inilah yang menurut saya, menjadi problem dalam sejarah gerakan petani di Indonesia.
Tanah Untuk Petani
Tanah untuk petani adalah konsep pembaruan agraria yang termuat dan tersusun secara normatif dalam UUPA 1960, sebagai jawaban atas problem agraria yang diwariskan pemerintahan kolonial.
Menurut Gunawan Wiradi (2000), konsep pembaruan agraria kita mengacu pada konsep new populism. Atas dasar ini, maka luas kepemilikan/penguasaan tanah dibatasi dengan batas luas maksimum dan minimum.[2] Namun, dalam perjalananya, setelah Orde Baru berkuasa, semangat pembaruan agraria sebagaimana yang diamanatkan dalam UUPA menjadi sesuatu yang tak berarti, karena seperti yang kita ketahui bersama, rezim Orde Baru lebih memfokuskan pada persoalan pembangunan nasional yang berlandaskan penjualan sumber daya alam kepada swasta, baik nasional maupun asing. Melalui produk aturan perundang-undangan sebagai legitimasi yuridis atas kebijakannya yang kapitalistik, maka Orde Baru sukses meninggalkan problem agraria yang akut di negeri ini. Singkatnya penguasaan tanah berskala besar oleh swasta berlangsung massif sampai hari ini.
Atas dasar inilah, keberadaan UUPA 1960 masih diperlukan sebagai dasar hukum untuk pembaruan agraria. Menurut saya konsep “Tanah Untuk Petani” masih diperlukan dalam menghalau laju penguasaan tanah oleh kapitalis-kapitalis besar yang dilegitimasi Negara.
Saat ini, konsep pembangunan dalam skema Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dikeluarkan pemerintahan SBY jelas merupakan agenda ke arah liberalisasi sektor agraria. Penguasaan dan kepemilikan kembali petani atas tanah (baik dengan cara pengambilalihan maupun redistribusi) secara privat dengan pembatasan luas maksimum dan minimum sebagai solusi yang ditawarkan oleh UUPA 1960 untuk petani yang hidup di tengah sistem kapitalisme yang mengglobal hari ini, masih merupakan langkah transisional yang efektif dan strategis. Namun, persoalannya tidak bisa berhenti sampai di situ, karena persoalan petani adalah persoalan yang begitu kompleks dan harus dikelola secara berkesinambungan.
Sebagai contoh, Erpan Fariyadi (2012) dalam mengomentari hasil penelitian Triagung Sujiwo tentang perubahan penguasaan tanah di Cieceng, Tasikmalaya, Jawa Barat, pasca-reklaiming, mengatakan bahwa setelah menguasai tanah, petani hanya menjadi penanam tanaman perkebunan albasia dan jabon untuk kebutuhan pabrik kayu, dan tanaman kapol untuk industri minyak atsiri.[3] Artinya, logika yang terbangun dalam kesadaran petani adalah berproduksi sebagai penyedia bahan baku atau bahan mentah, dengan sistem distribusi yang hirarkis dan susunan pengepul yang berlapis. Sistem seperti ini memang umumnya terjadi dalam masayarakat bertani/pedesaan di Indonesia. Jelas ini tidak berbeda dengan logika Negara sejak Orde Baru hingga saat ini, yakni sebagai penyedia atau pelayan kebutuhan dasar Negara-negara industri maju atau dapat saya istilahkan sebagai Imperalisme
Persoalan ini dapat berkonsekuensi politis dimana kepemimpinan organisasi petani jatuh pada kelompok yang lebih tinggi statusnya dalam hirarki masyarakat bertani/pedesaan saat ini. Dalam kasus Cieceng, mereka adalah tokoh-tokoh informal yang memiliki otoritas sosial, kemudian berfungsi sebagai patron dan seakan melindungi secara politik dan ekonomi.[4] Artinya, perjuangan pengambilalihan lahan seperti jalan di tempat, kalau mengutip istilah Eric R. Wolf (1984) bahwa sifat pemberontak petani adalah untuk tetap menjadi “tradisional”[5] dan dasar dari sikap perlawanan petani hanyalah karena efek ekonomi yang sangat negatif dirasakan tanpa ada imajinasi dan perencanaan untuk melampaui kondisi tersebut. Jelas situasi seperti ini adalah suatu kekeliruan dalam membangun gerakan petani.
Inilah yang menjadi salah satu problem saat ini dan ke depan buat kita semua, baik intelektual pro-reforma agraria, aktifis reforma agraria maupun petani itu sendiri di tengah persoalan agraria yang begitu kompleks dan krusial.
Penutup
Persoalan gerakan petani ke depan pastinya tidak akan lepas dari realitas dimana kapitalisme semakin mendominasi negeri ini. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah bentuk tertinggi dari dominasi kapitalisme di Indonesia saat ini, dimana pemerintah membuka ruang-ruang baru guna ekploitasi sumber-sumber agraria oleh kekuasaan modal dengan cara membagi wilayah ke dalam koridor-koridor yang mereka inginkan. Kapitalisme saat ini telah menunjukan kemajuan dalam mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan agraria yang merupakan sumber kekayaan sosial. Dalam suatu wawancara, Arianto Sangaji (2013) menjelaskan kemajuan sistem ini dalam menciptakan teknologi guna pengambilalihan nilai lebih yang lebih besar. Lebih jauh dalam wawancara tersebut Arianto sangaji menjelaskan;
“Secara teknis, penggunaan teknologi terbaru menghasilkan produktivitas yang tinggi, karena jumlah material yang lebih besar atau banyak, misalnya, dapat dikeruk dari perut bumi. Dalam industri pertambangan, misalnya, firma-firma kapitalis berlomba memajukan tenaga-tenaga produktif (teknologi, ilmu pengetahuan dan keahlian) sebagai suatu keniscayaan, agar supaya minyak, gas, batubara, biji nikel dan sebagainya bisa dikeruk secara lebih cepat dan lebih banyak dari perut bumi. Turunannya, material-material itu dapat diproses untuk menghasilkan bahan-bahan baku dalam jumlah lebih besar pula. Tetapi, penggunaan mesin dalam konteks produksi yang kapitalistik bukan saja meningkatkan produktivitas kerja, tetapi dalam waktu yang sama juga mengubah dinamika hubungan kelas. Semenjak penggunaan teknologi menghemat tenaga kerja (labour-saving technology), maka implikasinya kapitalisme menciptakan tenaga kerja cadangan (reserve army of labour) yang melimpah ruah, sehingga memungkinkan kelas kapitalis dapat mengontrol kelas pekerja secara efektif.  Dengan demikian, dalam produksi kapitalistik, inovasi teknologi karenanya tidak bersifat eksternal melainkan internal ke dalam sistem ini.”[6]
Dalam kutipan di atas jelas kemajuan teknologi adalah keharusan bagi sistem kapitalisme yang ekspansif, bahwa selain memerlukan ruang penyingkiran petani ataupun membuka wilayah-wilayah baru yang luas, kapitalisme juga akan menciptakan barisan pengangguran yang masif. Maka dari itu, tidak ada jalan buat petani selain tetap dan terus berjuang mempertahankan tanah, merebut tanah, dan mengelola secara terencana di bawah kepemimpinan petani sendiri.
Di atas semua itu, tidak ada jalan lain selain mempersiapkan suatu konsep gerakan yang bukan hanya sekedar pengambilalihan lahan. Namun, diperlukan perencanaan yang jelas sebagai alternatif dalam pengelolaan tanah yang lebih mencerminkan kolektivitas, baik dalam produksi maupun distribusi, sehingga petani dapat benar-benar berdaulat secara ekonomi maupun politik.
Ini adalah tugas besar yang tidak mudah bagi petani dan pejuang-pejuang reforma agraria, untuk dapat merebut kedaulatan atas tanah, pangan, energi dan lingkungan yang lebih baik buat semua. Karenanya, perjuangan petani tidak dapat eksklusif dan diisolasi dari perjuangan rakyat pekerja secara luas. Perjuangan panjang ini mesti dan wajib disatukan dengan perjuangan buruh, kaum miskin kota, mahasiswa, intelektual dan gerakan-gerakan identitas lainnya. Karena jelas problem yang kita hadapi saat ini adalah kapitalisme yang semakin maju dalam mengekstraksi kekayaan alam dan eksploitasi kekayan sosial secara masif.***
Catatan:
[1] Catatan ini sekedar sumbangan sederhana untuk menyambut Hari Tani Nasional. Adapun petani yang saya maksud adalah petani miskin, buruh-tani dan kaum miskin tak bertanah.
[2] Lebih jelasnya lihat Gunawan Wiradi (2000), Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir (Insist Press: Yogya).
[3] Lebih jelasnya lihat Erpan Pariad, “Kaum Tani Miskin Harus Memimpin Gerakan Tani Agar Gerakan Pendudukan Tanah Dapat Mencapai Tujuannya dalam Dari Lokal Ke Nasional Kembali Ke Lokal: Perjuangan Hak Atas Tanah Di Indonesia (Arc Books: Bandung. 2012).
[4] Lebih jelasnya lihat Tri agung Sujiwo “Perubahan Penguasaan Tanah Di atas Lahan Pendudukan Pasca Reformasi (Studi kasus Tanah Cieceng Desa Sindangasih Tasikmalaya)” dalam Dari Lokal Ke Nasional Kembali Ke Lokal, op. cit.
[5] Lebih Jelasnya, lihat Henry A. Landsberger dan Yu. G. Alexandrov, Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial (YIIS Jakarta, 1984).
[6] Lebih jelasnya, lihat “Arianto Sangaji: Pilihannya Sederhana, Sosialisme atau Barbarisme,” Left Book Review Indoprogress, Edisi XIV/2013,http://indoprogress.com/lbr/?p=1478.

Sumber: http://www.prp-indonesia.org/2013/gerakan-petani-sebuah-catatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar