Minggu, 09 Agustus 2015

Cegah Konflik Saat dan Setelah Pilkada, Sambut Pilkada Damai dan Cerdas STOP Rasialisme!!



Cegah Konflik Saat dan Setelah Pilkada, Sambut Pilkada Damai dan Cerdas
STOP Rasialisme!!
Image
 “Sudah Saatnya Putra Daerah Ambil Kendali Sebagai Bupati”, “Putra Daerah harus memimpin, Pendatang harus dipimpin”, begitulah bunyi desas desus, gosip dan pembicaraan yang sangat berbau rasial dan sangat anti terhadap kebinekaan Desas-desus seperti ini makin kencang diberbincangkan menjelang pilkada 2015 ini. Dalam Moment Pilkada Pada Umumnya Putra Daerah sebagai isu utama yang mendorong Terjadinya Konflik Horisontal Saat Berlangsung dan Pasca Pilkada.
Kenapa? Karena Mayoritas calon pemilih masih berkutat pada hal-hal yang tidak rasional, seperti suku asal calon kepala daerah dan kedekatan keluarga. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa definisi dari putra daerah itu? Apakah ada hubungannya antara putra daerah dan bukan putra daerah dengan kesejahteraan masyarakat? Kita harus jernih hati untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Menurut teori Samuel P. Huntington ada tiga kategori tentang putra daerah. Pertama, putra daerah genealogis atau biologis, yaitu seseorang yang dilahirkan di daerah tersebut. Kategori ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu seseorang yang dilahirkan di daerah tersebut berasal dari orang tua, baik salah satu maupun keduanya berasal dari daerah itu, dan juga seseorang yang dilahirkan di daerah tersebut tetapi orang tuanya bukan berasal dari daerah yang bersangkutan.
Kedua, putra daerah pragmatis, yaitu seseorang yang lahir di daerah tertentu dan berhubungan dengan daerahnya hanya untuk mengambil keuntungan bagi dirinya secara pragmatis. Ia memiliki hubungan politik dan/atau ekonomi dengan daerah kelahirannya. Misalnya, menjadi anggota legislatif mewakili daerah asal, yang sebelumnya tidak memiliki kiprah politik di daerahnya. Atau, seseorang yang menanamkan uangnya dalam bentuk investasi di daerah asal karena melihat potensi bisnis yang layak dikembangkan, dan lain sebagainya.
Ketiga, putra daerah sosiologis, yaitu seseorang yang, dalam kurun waktu lama, hidup, tumbuh, berkembang dan berinteraksi dengan masyarakat dimana ia tinggal. Ia telah menginternalisasi identitas dan karakter masyarakat, membangun ikatan emosional dengan masyarakat, serta menjadi bagian dari masyarakat setempat dan secara bersama-sama membangun daerah demi kemajuan buat semua.
Berdasarkan beberapa kategori tersebut maka sudah tidak relevan lagi jika kita masih memunculkan isu putra daerah dan bukan putra daerah dalam Pilkada. Dikotomi putra daerah dan bukan putra daerah justru akan merusak bangunan demokrasi dan tatanan kehidupan kita sebagai sebuah bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika isu ini selalu dihembuskan, maka akan berdampak pada tiga hal, sebagai berikut;
Pertama, munculnya kembali semangat primordialisme, yaitu rasa kesukuan yang berlebihan. Memandang orang per-orang dari latar belakang kesukuannya, silsilah feodal atau kebangsawanannya sehingga dalam melihat persoalan selalu menggunakan perspektif dan nilai ajaran sukunya, kebangsawanan atau kefeodalanya dan/atau keluarganya sendiri secara sempit dan manipulatif. Bangkitnya primordialisme akan mengancam kerukunan dan integritas masyarakat secara luas. Akan muncul rasa tidak senang, cemburu, curiga, yang mengarah pada kebencian dan penolakan terhadap orang lain yang diidentifikasi bukan bagian dari kelompoknya.
Kedua, ancaman terhadap nasionalisme dan persatuan bangsa. Isu putra daerah merupakan bentuk perongrongan secara laten terhadap nilai-nilai dan semangat nasionalisme, serta proses integrasi bangsa. Hal ini juga mengandung makna adanya pengkhianatan terhadap Bhinneka Tunggal Ika, sebagai semboyan dan roh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika ini dibiarkan, maka bangsa ini akan mundur dan berkeping-keping persis ketika kolonialisme menjajah bumi pertiwi tercinta ini.
Ketiga, mencederai substansi demokrasi. Demokrasi memberikan hak yang sama bagi setiap orang untuk memilih dan dipilih dalam aktivitas politik, baik itu pemilihan bupati, walikota, gubernur, presiden maupun anggota legislatif. Menghembuskan isu putra daerah berarti menghalang-halangi, sekaligus menghilangkan kesempatan seseorang untuk turut berkompetisi secara fair dalam setiap aktivitas politik.
Apalagi isu putra daerah jelas adalah ungkapan yang sangat bias Gender, Karna akan ada pertanyaan kenapa bukan Putri daerah? Bias gender adalah pembagian posisi dan peran yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dengan sifat feminis dipandang selayaknya berperan di sektor domestik, sebaliknya laki-laki yang maskulin sudah sepatutnya berperan di sektor publik. Bias Gender adalah kebijakan/ program/ kegiatan atau kondisi yang memihak atau merugikan salah satu jenis kelamin dalam hal ini perempuan.
Memang, menjelang pilkada ini, suhu politik di Kabupaten Banggai meningkat sejalan dengan semakin banyaknya bakal calon bupati dan wakil bupati melakukan konsolidasi dan merebut simpati masyarakat dengan caranya masing-masing. Sisi positif yang semestinya dilihat dari dinamika tersebut adalah bahwa momentum pilkada langsung ini harus dijadikan wahana pembelajaran politik yang sehat bagi masyarakat.
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung harus dibaca sebagai suatu keinginan untuk mendapatkan Kepala Daerah yang handal, berintegritas, dipercaya masyarakat (merakyat) dan mampu membawa perbaikan kongkrit di masyarakat. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung harus pula dibaca sebagai upaya untuk mewujudkan karakter kepemimpinan yang menjadi idaman rakyat, serta memberi manfaat bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, pemilihan Kepala Daerah secara langsung juga menuntut suatu proses pemilihan yang fair, adil dan terbuka, yang jauh dari praktek Politik Uang/money politic, politik teror, intimidasi, ataupun cara-cara kotor yang melawan moral sosial, moral agama dan konstitusi, seperti black campaign, fitnah, adu domba, dan lain-lain.
Rakyat memiliki hak konstitusional untuk memilih pemimpinnya, siapapun itu dan dari manapun asalnya, asal memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena jelas istilah “putra daerah” tidak pernah menjadi syarat untuk menjadi calon kepala daerah sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang republik indonesia  nomor 8 tahun 2015  tentang perubahan atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang. Sebab sejatinya rakyat memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan layanan berkualitas, yakni suatu layanan berupa gerak pembangunan yang sejalan dengan aspirasi (partisipatif),konstitusi dan tujuan nasional bangsa.
Atas dasar itulah, semestinya kita membangun cara berpikir dan sikap kita untuk menilai para bakal calon bupati dan wakil bupati. Sejauh mana kapabilitas dan akseptabilitasnya terhadap rakyat, bangsa dan negara ini. Bukan cara usang yang dapat mengakibatkan konflik dengan menyebar isu putra daerah yang sama sekali menyesatkan rakyat. ***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar